Ku lari Untuk Indonesia
Ku berjalan mengitari hutan untuk dapat
menuntut ilmu. Jembatan yang sudah tua ditambah sungai dengan aliran yang tak
bersahabat menambah deretan pengorbananku untuk meraih kesuksesan. Aku Narni,
dari desa dipelosok Indonesia. Tak banyak orang tahu daerahku, listrik masih
jarang ditambah medan yang sangat mematikan. Dari daerahku , aku harus menempuh
jarak sekitar 20 km untuk pergi sekolah . Bayangkan saja, jika naik perahu
berapa lama waktu yang harus aku tempuh. Tak hanya perahu tua yang aku tumpangi
, aku harus terlebih dahulu berjalan 5 km ke tepian sungai. Menuruni bukit,
menyebrangi jembatan hingga harus pula melintasi sungai yang banyak sekali
binatang buas . Banyak memang anak di daerahku yang tak sekolah . Mereka hanya
memikirkan untuk bekerja. Mereka bekerja membantu orang tua dengan cara bertani , berladang dan menangkap ikan
di sungai. Banyak sekali anak di daerahku yang hanya memikirkan saat ini saja, bukan masa depan. Seharusnya
mereka lebih bisa berpikir jauh untuk masa depannya. Aku ingin sekali mengubah
pola pikir mereka, tapi aku rasa itu sulit sekali. Karena didalam pikiran masyarakat
kampungku hanya bekerja dan bekerja, bukan sekolah untuk bekerja di masa depan.
Aku juga sempat heran mengapa daerahku masih sangat tertinggal. Aku sempat
miris melihat kondisi masyarakat dikota sana. Semua bisa mereka lakukan. Sedang
kami disini masih sangat tertinggal. Untuk mencari listrik saja sulit apalagi
mau menonton televisi, mungkin itu langka sekali. Kita bisa menikmati tayangan film mungkin dua tahun sekali jika
ada layar tancep yang datang ke desaku. Aku sebagai anak Indonesia merasa
sedih, mengapa saudaraku di kota bisa melakukan hal –hal yang bisa mengubah
hidup mereka, sementara kami yang berada di desa tidak bisa. Di otakku hanya
ada keinginan untuk bisa merubah kampung halamanku, tetapi tetap berporos pada
ajaran yang sebenarnya. Aku berusaha menuntut ilmu walau jauh disana. Aku ingin sekali menjadi wakil rakyat nantinya
agar bisa menyampaikan aspirasi saudaraku disini. Aku ingin menghapuskan
korupsi dari tanah pertiwi dan aku ingin menciptakan Indonesia lebih dari ini.
Walau terkadang, aneh untuk aku
lakukan. Untuk menuntut ilmu bagi ku itu sulit, karena apa? Karena untuk
sekolah saja sulit ditambah banyak hal lain yang mengikutiku. Indonesia yang
selalu aku genggam erat di kepalan tanganku, kini ia sedang meneteskan air
mata. Banyak anak buahnya yang masuk dalam lubang hitam. Mereka tak sadar akan
pengorbanan para pahlawan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
setelah mereka besar mereka malah menghancurkannya. Rentetan masalah datang
menimpa negeriku. Yang lagi booming
ialah tikus yang sedang mengerati harta Indonesia. Seharusnya mereka bisa
berfikir, mereka dibesarkan oleh negara dan mereka pula harus membesarkan
negara bukan malah menambah masalah. Yang aneh, tikus itu merupakan orang yang
berpendidikan tinggi. Aku sempat berpikir untuk apa sekolah tinggi namun
akhirnya membuat dosa. Tapi, karena tekadku yang sangat bulat, aku tetap akan
menimba ilmu sampai memori otakku penuh dan akan ku bangun negeriku dengan ilmu
yang diiringi rasa iman dan taqwa.
Negeri yang sudah lama merdeka ini, aku
rasa bisa lebih maju. Negeriku seperti ini , karena mungkin banyak pengawet di
samping kanan dan kirinya, yang tentunya seperti korupsi. Aku yang berperawakan
kulit sawo matang hidup di pelosok negeri , sangat bangga sebenarnya menjadi
warga Indonesia . Walau keadaan yang seperti ini aku tetap bertekad untuk
membangun Indonesia nantinya. Cita-citaku yang ingin menjadi anggota DPR kini
sudah mulai luntur. Aku lebih ingin menjadi Dosen atau guru. Menurutku inilah
pekerjaan yang bisa merubah keadaan Indonesia. Sebab, gurulah yang mengajarkan
anak didiknya yang nanti akan memimpin Indonesia. Aku akan berjuang keras untuk
menjadi pengajar, karena dari gurulah tumbuh seorang bupati hingga presiden.
Dari gurulah sebenarnya negeri itu bisa dibangun. Sebab, ketika anak didik di
ajar , guru akan berpesan dan mengajarkan untuk membangun negeri Indonesia.
Aku yang kini hidup pas-pasan memang
sulit untuk mewujudkan cita-citaku itu, karena rintangan untuk menimba ilmu
cukup mematikan. Dilihat dari medan yang harus ku tempuh sampai aku harus
berjuang melawan katuk. Karena apa, ku
harus bangun pukul 4 fajar , agar
aku bisa sampai sekolah tepat waktu. Sementara, setelah sampai disekolah , aku
masih harus berjuang kembali, sekolah yang sudah tua, dan fasilitas kurang
memadai. Apalagi jika hujan mengguyur, disaat inilah semangatku luntur. Sekolah
yang sudah tua, di tambah tetesan air yang masuk ke ruang kelas. Aku merasa
malas dan ingin menyalahkan keadaan yang sedang aku alami. Aku juga anak negeri
, mengapa anak yang berada di Metropolitan dapat merasakan kenikmatan sekolah
sementara aku tidak bisa. Jika saja, aku mendapatkan kesempatan itu, aku pasti
bersyukur. Dengan keadaan yang begini saja , aku sudah bersyukur, mengapa
kawanku yang disana tidak. Padahal sekolah mereka lebih layak dari ini.
Entahlah dimana fikiran mereka yang sesungguhnya.
Kini aku menginjak bangku SMA, sebab aku
merasa geregetan dengan keadaan yang menimpa daerahku. Disekolah aku
bersungguh-sungguh , untuk belajar. Keinginan pertamaku untuk daerahku ialah
membangun pembangkit listrik dengan tenaga air. Ada sebuah lokasi didaerahku
yang bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik. Aku pelajari buku
yang diberikan guruku, aku pelajari bagaimana cara membangkitkan listrik
menggunakan tenaga air. Hingga suatu ketika, dimana aku sudah mengeti cara
membangkitkan lstrik menggunakan bantuan air, aku mulai melakukan kegiatanku
itu. Ku kumpulkan alat yang diperlukan, dan aku mengumpulkan saudaraku untuk
mulai membangun pembangkit listrik itu. Seharian aku tak berhenti untuk
berusaha agar alat yang aku ciptakan bisa berbuah manis. Tapi, setelah aku coba
, alat itu tak berjalan dengan baik. Banyak orang yang mencemoohku akan hal
ini. Aku sedikit gusar. Tuhan mengapa kau tak ijinkan aku untuk membangun
listrik didaerahku, padahal aku sangat membutuhkannya. Karena kecintaanku
kepada daerah asalku, walau banyak orang yang mencerca, aku tetap berusaha
sendiri membangun pembangkit listrik itu. Ku bekerja sendiri setiap hari , ku
bangun pukul 2 pagi , kucoba alatku setiap saat. Entah apa sesungguhnya rencana Tuhan , sudah
berulang kali aku berusaha namun tetap gagal. Hingga aku sempat ingin putus
asa. Aku telah menghabiskan sekitar 3 bulan waaktu ku untuk membangun
pembangkit listrik namun belum nampak hasilnya. Aku sebenarnya ingin berhenti,
tapi, jika aku berhenti , bagaimana nasib desaku seterusnya. Apa akan tetap
gelap gulita??? jika seperti ini tak akan maju negaraku, gimana bisa maju.
Daerahnya saja, masih sangat tertinggal , untuk menggunaan listrik saja belum
bisa. Dan karena ini merupakan salah satu keinginan terbesarku selama ini,
dengan rasa yang optimis aku tetap berusaha , membangun pembangkit listrik
itu. Aku butuh waktu hampir 4 bulan
untuk menyelesaikan alat pembangkit listrik itu. Aku berusaha sendiri, aku
bangun sedikit demi sedikit. Ku kumpulkan tenagaku untuk daerahku. Banyak
sekali orang yang mencemoohku karena ulahku yang aneh dimata mereka. Aku juga
sempat di larang oleh bapak ibuku. Aku tak boleh keluar , jika aku tetap
menjalankan aksiku itu, aku tidak dierbolehkan pergi ke sekolah. Aduhhh harus
bagaimanakah aku ini. Tuhan tolong aku , buka kan lah pintu hati bapak dan
ibuku agar aku bisa menyelesaikan impianku ini. Tetap saja, ibuku dan bapakku
melarang, harus bagaimana aku ini. Sedikit
membangkang , aku tetap berusaha menjalankan aksiku itu dengan diam-diam. Aku
keluar tengah malam disaat ibu dan bapak pergi kelaut. Aku sempatkan waktu
beberapa menit setelah pulang sekolah untuk pergi ke tepi sungai yang alirannya
cukup deras.
Selang
beberapa bulan lamanya, akhirnya dengan ku ucap bismillah aku mulai
mengoperasikan alat yang aku susah payah buat itu. Aduhhhh,,, Tuhannn, ini
membuatku senang sekali. Ternyata alat
ku ini bisa menghidupkan lampu . Beberapa orang kaget . Dan mereka sangat
senang daerahnya bisa mendapatkan listrik juga. Bapak ibuku sontak memberikan
jempol tanda bangga padaku. Semua warga bergembira dan mereka berterimakasih
kepadaku. Aku merasa puas sekarang. Tapi, mimpiku tidak hanya ini, aku masih
punya banyak mimpi untuk Indonesia yang mungkin sulit dilakukan seperti menjadi
pengajar untuk generasi pembangun negara yang berbudi baik .
Tak
hanya mimpi itu saja, di otakku ada rentetan mimpi untuk kemajuan Indonesia .
Dan khususnya pendidikan Indonesia. Setelah aku berhasil membangkitkan tenaga
listrik di daerahku, aku tetap belajar dengan tekun. Karena apa, daerahku belum
sepenuhnya terpasang listrik. Karena tenaga yang dihasilkan dari alat itu
berskala kecil. Aku yang sebentar lagi akan mengikuti ujian Nasional , pastinya
menyiapkan betul materi-materi yang akan diujikan. Aku perlu ekstra belajar
agar nilai UN ku sempurna. Sebab, sekolah yang aku tempati, belum bisa
memberikan materi untuk UN sepenuhnya. Sekolah yang berada di pinggiran sungai
, tanpa diperhatikkan oleh pemerintah. Buku pelajaran tak pernah ada dimeja.
Jika ada itu pun pinjaman dari sekolah lain. Untuk UN pun harus menumpang di
SMA lain. Butuh waktu 1 jam ke sekolah tersebut. Harus berangkat jam berapakah
aku ini Tuhan??? Tuhan berikanlah kemudahan dalam belajarku, karena hanya satu
pitaku Tuhan. Jadikanlah aku nantinya pengajar yang baik untuk membangun
Indonesia. Lari dari masalah UN. Kepalaku pening lagi. Karena harus kemanakah
aku stelah ini? Aku ingin melanjutkan kuliah , namun apa kuat orang tuaku
membiayainya. Walau.... banyak disana universitas yang menyediakan bidik misi.
Tapi, apa akan diselipkan namauku disana? Aku sendiri pun tak tahu. Entahlah
apa akan terwujud keinginanku ini.
UN kini tinggal menghitung jam. Kiranya
1 jam lagi UN pertama akan terlaksana. Gimana dengan nasibku setelah ini? Tuhan
aku ingin melanjutkan studyku tapi , adakah jalan untuk ini???Aku hanya berdo’a
dan membayangkan jika kelak aku sukses dengan menjadikan ragaku ini pengajar
yang baik. Lonceng sontak terdengar. Waduh inilah hari yang menentukkan.
Bisakah aku memperoleh nilai sempurna. Ah jangan fikirkan nila dulu , namun
ilmu yang selama ini aku peroleh pasti akan muncul dengan sendirinya. Karena
sesungguhnya kita sekolah ga nyari nilai namun cari ilmu. Jika kita cari ilmu ,
nilai akan mengikuti dengan sendirinya. Ya sudahlah berusaha dulu. Pasti akan terbuka pintu itu. Jantungku
sontak berdebar. Akankah aku kuat menjalani ini semua. Tuhan bantulah aku.
Karena Kaulah aku lakukan ini. Jangkahan kaki ini aku iramakan didalam hati.
Bismillah, bismillah . Aku selipkan irama keagamaan dalam jangkahku menuju
ruang ujian. Kududuk dengan tegap tanpa ada beban didalamnya. Tenang, semua
akan berjalan dengan baik. Dua jam waktuku mengerjakan soal itu. Aku optimis
aku akan berhasil. Itu pun aku benar 2 jam pertama aku lalui dengan baik.
Alhamdulillah. Hari kedua dan hari-hari berikutnya aku lakukan pula . Ujian
Nasional yang aku lakukan ini , aku rasa
sukses. Tapi , entahlah nilai yang akan keluar nantinya. Pengumuman kelulusan akan
diberitahukan sekitar satu bulan lamanya. Aku tidak sabar, aku ingin tahu
nasibku sekarang dan didetik ini juga. Tapi, aku lagi-lagi harus bersabar.
Disela-sela menunggu pengumuman , aku tetap belajar dan belajar . Karena
bagiku, aku ingin tetap ilmu yang ada di otakku abadi dan tidak akan luntur.
Oleh karenanya, aku tetap harus melumasinya.
Dua
minggu setelah UN aku memberanikan diri untuk pergi ke kota. Dengan bekal minim
aku berangkat ke kota menumpang mobil sayuran. Bapak dan ibuku bingung dengan aksiku
kali ini. Karena alasanku ke kota ialah ingin cari ilmu. Sebenarnya aku ingin
ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan jika aku mendapatkan kerja pasti aku bisa
membiayai sekolahku nantinya. Tapi, aku harus kerja apa? Aku tidak punya
keahlian sama sekali . Hingga saat aku di kota aku menjumpai tempat yang asing
bagiku, yaitu sanggar lukis. Aku binggung disitu. Banyak coretan tinta yang
tidak teratur. Namun, itu seni . Ya itulah seni. Ku lihat seisi sanggar itu.
Hingga aku ditanya seseorang pak tua disana. Ditanyanya keadaan dan maksudku
datang ke tempatnya. Jawab apa aku kali ini.
“Mau cari ilmu pak , buat bekal masa depan.” Spontan
jawabku.
“Kalau mau cari ilmu disini itu kamu harus menunjukkan
keahlian yang kamu miliki, dengan begitu kamu akan diterima di sanggar seni
ini.”
“Jika saya memiliki keahlian yang mumpuni, saya tidak
akan meminta Bapak untuk menerima saya di sanggar ini. Oleh karena itu
izinkanlah saya untuk menimba ilmu disini Pak.”
Dengan menganggukkan kepala Pak Tua itu berkata, “Emm...
Baiklah. Saya lihat kamu ini anak yang memiliki prinsip yang teguh, untuk itu
kamu saya beri kesempatan untuk menimba ilmu di sanggar ini, namun apabila kamu
tidak dapat menunjukkan kesungguhanmu dalam belajar disini, saya sendiri yang
akan mendepak kamu dari sanggar saya, kamu mengerti.”
“Ya Pak, saya akan menjaga kepercayaan dan kesempatan
yang telah Bapak berikan kepada saya.”
Kata itulah yang
diucapkan Pak Tua yang kemudian ku ketahui namanya Pak Narno ketika untuk
pertama kali ia bertemu denganku.
“Saya rasa untuk belajar disini cukup banyak mengeluarkan
uang pak. Saya tak mampu itu. Untuk pergi kesini saja saya numpang, saya juga
tidak tahu gimana hidup saya seterusnya dengan kepingan uang logam ini. “Yang
saya butuhkan tidak uang, kemauanlah yang sebenarnya mendorong ke arah
kemajuan. Dan juga niat kamu itu sangat mulia sekali. Buat apa banyak uang
namun niatnya tidak dapat tersampaikan”kata pak tua. Dari kata pak Tua itu aku
mulai mengerti , jika pemilik sanggar itu lebih menghargai orang yang
menghormati ilmu dari pada uang. “jika bapak bertanya, akankah kau menjawabnya
nak?”sahut pak tua pemilik sanggar. “Jika pertanyaan itu ada muaranya pasti ada
hulunya, tentu saja saya jawab pak.”Jawabku
kala itu. Tak disangka sebelumnya , aku dtawari oleh pak tua itu untuk
masuk sanggar lukis tanpa dipungut biaya. Sekejab darahku seperti berhenti. “Apa mungkin pak,
raga sekecil ini, dengan ditambah tak ada kemampuan yang bisa untuk
dikembangkan masuk ke sanggar ini?”tanyaku dengan sedikit membangkang. “Tak ada
yang salah, saya tahu kemampuanmu nak, tak satu , dua hari saya berkecimpung
didunia lukis”. “Tapi, harus kemanakah saya menemukan kemampuanku itu” tanyaku
pada pak tua. “Sebenarnya janganlah kau mencari cahaya kemana-mana, cahaya itu
ada didirimu sendiri. Namun, cahaya itu perlu diolah lebih lagi” jawab pak tua dengan memaksaku untuk masuk ke dalam
sanggar. Didalam sanggar nampak anak-anak yang melakukan berbagai aktivitas.
Ada yang mencoret-coret di kanvas, ada pula yang mencoret-coret dinding. “Eh,
anda ini tak tahu diuntung”kataku pada salah seorang anak yang mencoret-coret
tembok. “Maaf apa maksud anda? Ini memang kegiatan saya, Apa ada masalah dengan
anda? Terus anda siapa?” jawab salah seorang dari sudut sanggar. “Saya yang
hidup dikampung ingin sekali mencari ilmu dikota, disini lengkap. Nggak seperti
di daerahku, anda seharusnya bersyukur , bukan membuat onar dengan
mencoret-coret tembok seperti ini” sahut ku dengan sedikit kesal. Tanpa
kusangaja, pak tua datang dan menepuk pundakku. “ Nak, mereka bukan bikin onar,
inilah seni. Memang di sanggar ini ada beberapa kelas, dan ini salah satunya.
Mereka ini punya potensi dalam bidang lukis , bukan bikin onar” kata pak tua menjelaskannya padaku. “Iya, mba inilah
seni, seni itu tidak ada batasannya, jadi kita bisa menerapkannya dimanapun,
akan tetapi tetap saja yang kita lukiskan harus tetap beretika” sahut salah
satu siswa dari ujung ruangan sanggar. “Iya mas , maklumlah saya dari pelosok.
Saya tak tahu tentang ini semua. Yang saya tahu hanya sungai , ladang dan
sawah, itupun hanya didaerah saya” sahut ku dengan rasa malu karena aku telah
membentak anak-anak yang mencoret-coret tembok. “ Kalau boleh tahu siapa nama
mba?” tanya salah seorang murid. “Nama ku Narni” jawabku dengan nada sedikit
gugup. Tak tahu mengapa, baru kali ini aku lihat pria semanis ini, jika dilihat
kalau tampan ga juga, tapi ia manis sihh, dikampungku ga ada pria semanis ini .
“Mba,,, halooo, kok diam???Kenapa ???Owalah ,,, ,,,, kamu kagum ya sama saya?
Sampai-sampai lirikkan mata mba gitu.Biasa kali mba. Aku Ditto. Senang bertemu
denganmu Narni” Kata salah seorang siswa sanggar yang ternyata bernama Ditto.
Tak kusangka, ternyata sampai segitunya aku kagum dengan Ditto. Sampai-sampai
aku melamun sendiri , jadi malu aku. Haduh ini ya anak kampung yang liat pria
kota. “E..em nda papa, Dit. Ya baru kali ini aku liat pria semanis kamu ,
dikampungku ga ada. Disana pria – prianya biasa , kulit hitam, pendek dan
hidung pesek. Beda sama kamu, udah manis, tinggi, putih dan kalau aku liat kamu
ga bosen dah” sahutku tanpa disadari kat-kataku itu ditertawakan seisi sanggar.
Aku seperti orang yang ga pernah liat lawan jenis, ya memang itulah
kenyataannya. Pak tua pemilik sanggar itu ternyata bernama pak Karto. Pak Karto
pun mengajakku bertemu dengan keluarganya. Dan disuruhnya ku untuk ganti
pakean, karena dari kampung aku ga bawa apa-apa. “Begini ya rasanya hidup di
kota, beda 180o dari kampungku. Banyak kendaraan , alat teknologi
semua lengkap. Tapi ada yang saya sayangkan” ungkapku sembari duduk diteras
rumah pak Karto. “Maksudmu apa nak. Apa yang sebenarnya kau sayangkan?” tanya
bu Edah istri pak Karto . “Banyak polusi bu, sehingga udaranya ga bisa
segar seperti di kampung, ya itulah
kelemahan dari kota yang banyak perusahaan besar” jawabku dengan menyantap
makanan yang ada di meja. Aku pun menyantap makanan yang diberikan oleh bu
Edah. Banyak sekali makanan disana mulai dari jajanan yang dibeli dari jalanan
hingga makanan mahal , ada semua disini. Aku baru kali ini merasakan makanan
senak dan senikmat ini. Buku tak pernah membeli makanan seperti ini, untuk beli
makanan sederhana saja sulit apalagi makanan semewah ini. Beruntung sekali aku
bertemu dengan pak Karto. Selain beliau memintaku unutk masuk ke sanggar
lukisnya. Beliau juga baik. Masih ada juga
orang yang baik seperti pak Karto. Setelah ku menyantap makanan yang
disediakan oleh bu Edah, ku lanjutkan untuk mengenal tentang seni lukis. Pak
Karto menerangkan sedikit demi sedikit mengenai seni lukis.
“Nak sebenarnya melukis merupakan hal
yang sangat asyik,apa kau tertarik?”tanya pak .Karto pada ku .
“entahlah pak, apa diri ini mampu untuk
melakukannya.Sebab tak ada sedikit bayangan dari ragaku ini untuk bisa menjadi
seorang pelukis.” Jawabku.
“Tidak semua orang yang belajar melukis
harus jadi peukis, apa seorang murid yang belajar elektro harus menjadi perakit
listrik?Tidak kan?Negitu pula dengan lukis. Apa salahnya kau mncoba. Bapak
yakin jika kau bersunguh- sungguh pasti Tuhan akan menjadikan ini sebuah jalan”
sahut pak Karto sambil sedikit membujuk.
“Sebenarnya, semenjak bapak menawariku
untuk masuk sanggar ini , jujur aku tertarik. Namun aku ga punya potensi
disini. Aku tak suka luks yang aku suka mengarang atau belajar ilmu alam
seperti biologi ataupun fisika.” Kataku pada pak Karto.
“aak lihat kamu ada potensi, nak. Untuk
apa bapak menawarimu jika bapak tak meihat potensi itu di dalam dirimu. Potensi
mu sudah terlihat jelas nak. Kamu bilang kamu suka mengarang. Dan engarang
butuh imajinasi, begitu pula dengan melukis. Bagi seorang pelukis imajinasi
ialah kunci. Jika kunci itu cocok maka pintu terbuka. Jangan kuatir Narni ,
bapak akan melatihmu.” Sahut pak Karto sambil menenangkanku.
Kemudian
pak Karto mengajakku pergi ke sanggar
disana aku dilatihnya untuk melukis. Dari mulai dasar, pak Karto menagajariku
untuk melukis. Yang menjadi aku teringat oleh bapak dan ibu di kampung , pak
Karto mengajariku untuk melukis pemandangan alam. Dilukisan itu ada sungai ,
kebau , padi hingga kincir yang ada di tepi sungai. Tuhan aku rindu ibu dan
bapak, padahal baru 3 hari aku meninggalkan mereka. Aku rindu ia Tuhan, apa aku
harus pulang? Namun, jikalau ku ditanya oleh warga kampung harus jawab apa aku
nanti. Aku belum dapat ilmu apapun dari kota. Ahhhhhh.... tidak aku tidak boleh
rapuh karena rindu akan bapak dan ibuku. Mungkin aku harus mendo’akan beliau
agar aku bisa tenang disini. Mungkin bapk dan ibu juga rindu kepadaku. Tuhan
lindungilah mereka, aku sungguh menyayanginya. Jangalah mereka selama aku tak
bisa menjaganya. Berilah kesehatan jasmani dan rohani agar beliau dapat
beribadah kepadamu. Dan berilah aku kekuatan supaya aku tetap bisa beribadah
kepadamu dan tentunya masih bisa menerima ilmu darimu.
Hari kedua ku di sanggar pak Karto
ku lewati dengan semangat yang membara. Karena hari ini Ditto akan membantu ku
untuk belajar melukis. Tak tahu mengapa aku semangat jika aku ingin bertemu
dengan Ditto. Rasanya darahku seakan membeku ditambah nadi ku seakan tak
berdenyut. Apa aku ini suka sama dia. Ahhh tida mungkinlah anak kampung
sepertiku tak boleh jatuh cinta. Aku ga boleh jatuh cinta selama ilmuku masih
seperti rumput yang baru saja tumbuh. Yang sebenarnya bisa membuat kita
hidupialah ilmu, jadi aku harus mengejarnya tanpa menyerah. Aku pasti bisa. Aku
disini bukan untuk menuntut cinta namun menuntut ilmu.
Lama sekali Ditto tak muncul .
Mungkin dia baru jalan dari rumahnya. Sembari menunggu Ditto aku mulai
mencoret-coret tinta dikanvas. Ku coret sana sini. Menurutku ini tak ada
iramanya. Ku goreskan tinta engan bantuan kuas. Coret sana coret sini. Aku
melukis seorang wanita yang duduk di tepi sungai dengan ditemani oleh selembar
kertas dan ku tambah beberapa burung disampingnya. Tak tahumengapa aku melukis
seperti ini. Entahlah , tapi aku berimajinas pada saat itu. Aku rasa gambar ini
melukiskan keinginan terbesarku. Wanita yang duduk ditepi itu adalah aku, dan
aku gambarkan diriku duduk karena aku ingin membayangkan jikalau ku nanti
menjadi seorang pengajar dan membangun Indonesia yang bersih dengan ku menjadi pengajar pasti akan ada sedikit
perubahan. Dan ku gambarkan selembar kertas ini merupakan simbol jika kita
belajar harus tetap mempertahankan prinsip kita sendiri dan ilmu itu bisa di
cari walau hanya dengan selembar kertas karena sebenarnya ilmu tak hanya dalam bentuk tulisan. Dan disampingnya ku
berikan burung karena burung merupakan simbol dari dalam diri manusia yang
memilki keinginan untuk mempertahankan hidupnya . Jika dia memiliki keinginan
itu maka ia akan melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan agar hidupnya
berubah menjadi lebih baik . Ku pandangi hasil lukisanku. Jelek aku rasa
entahlah ini yang mampu aku lakukan . Biar pak karto yang menilainya. Tak
terasa hampir satu setengah jam aku habiskan untuk melukis semabri menunggu
Ditto. Aku rasa Ditto tak datang, apalagi cuaca mendung dan hujan mulai turun.
“Assalamualaikum Narni . Lama ya
nunggu ya. Maaf aku tadi nganter mama ke pasar.Ya biasalah mama dua kali
seminggu pergi ke pasar. Maaf ya” kata Ditto yang tiba-tiba datang
menghampiriku.
“OOO,, Ditto Walaikumsalam. Tak kira
kau tak datang. Lihat langitnya menangis dan mendung disana sini. OOO ga papa ,
itu memang kewajiban seorang anaknya untuk mebantu orang tuanya. Untuk apa aku
marah?” jawabku dengan nada ringan.
“OOO syukurlah ternyata kamu ga
marah. Ooo apa itu? Bagus sekali . Itu lukisanmu? Spektakuler!!! Bagus sekali
Narni benar pak Karto kamu memang mempunyai potensi di bidang lukis. Apa maksud
lukisan itu? Apa aku boleh mengetahui makna dibalik lukisan indahm itu?” kata
Ditto yang ternyata Ditto mengagumi lukisanku.
“ Iya, itu lukisan yang aku buat
sembari menunggumu. Ahhh lukisan itu tidak ada apa-apanya dibanding lukisanmu.
Itu tak ada nilai jualnya. Dari mana kamu bisa tahu , kalau itu menyimpan makna
tersembunyi?” tanya ku pada Ditto yang ternyata Ditto penasaran dengan
lukisanku.
“ Aku telah lama berkecimpung
didunia lukis. Pasti setia kita menggoreskan tinta pasti ada makna yang
tersirat. Ya jika memang kamu tak ingin itu . Tak apalah. Kita bahas yang lan
saja, padahal menurutku makna itu baik untuk dlakuakan dan diamalkan” kata
Ditto kesal karena aku tak mau ungkapkan makna yang terkandung dalam lukisan
yang bau sajaaku buat.
“Ohhh maaft Ditt , okelah aku akan
menjelaskan mana itu kepadamu. Aku rasa gambar ini melukiskan keinginan
terbesarku. Wanita yang duduk ditepi itu adalah aku, dan aku gambarkan diriku
duduk karena aku ingin membayangkan jikalau ku nanti menjadi seorang pengajar
dan membangun Indonesia yang bersih dengan
ku menjadi pengajar pasti akan ada sedikit perubahan. Dan ku gambarkan
selembar kertas ini merupakan simbol jika kita belajar harus tetap
mempertahankan prinsip kita sendiri dan ilmu itu bisa di cari walau hanya
dengan selembar kertas karena sebenarnya ilmu tak hanya dalam bentuk tulisan. Dan disampingnya ku
berikan burung karena burung merupakan simbol dari dalam diri manusia yang
memilki keinginan untuk mempertahankan hidupnya . Jika dia memiliki keinginan
itu maka ia akan melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan agar hidupnya
berubah menjadi lebih baik .” itu jawabku pada Ditto.
“Apa ada hal menarik dari lukisan
jelek ku ini? Aku rasa ak ada, malah mungkin jika pak Karto melihatnya pasti ia
akan menertawakanku.” Kataku sedikit kesal denagn Ditto.
“ Kamu luar biasa , tak ada pelukis
yang berimajinasi tinggi. Aku kagum denagn mu sebab , mungkin jika di presentasekan
di bumi ini 1 % manusia yang menghargai ilmu. Aku salut denagn dirimu Narni.
Aku hanya bisa berkata, manfaatkan usia mu yang masih muda dengan menghiasinya
dengan ilmu yang membuat dirimu bermanfaat bagi orang lain.” Kata Ditto yang
menasehatiku.
Tuhan , rasanya aku tentram sekali
saat itu. Apalagi Ditto memberikan ku nasehat seperti itu. Ini meruakan
tantangan hidup menurutku. Aduh aku merasakan ada hal aneh didalam benakku.
Tuhan mengapa kau pertemukanku dengan Ditto. Jujur aku takt. Takut jikalau aku
suka sama dia. Sementara dia tak suka sama aku. Tidak. Aku tidak boleh punya
pikiran sekotor itu. Aku harus tetap berpegang teguh akan prinsipku. Aku pergi
ke kota untuk mencari ilmu bukan mencri cinta . Aku tak mau mengorbankan ilmuku
untuk cinta. Tuhan berilah aku kekuatan agar aku tetap bisa mencari ilmu untuk
masa depanku.Ini segelintir do’a yang aku panjatkan kepada Tuhan . dengan
harapan Tuhan mengabulkanya dan aku akan meperoleh ilmu untuk mengubah masa
depanku dan juga tanah pertiwiku. Di sela lamunanku, pak Karto membawa selembar
kertas datang kearah ku dan ditto. Ternyata itu merupakan pengumuman mengenai
lombalukis nasional. Apa sebenarnya maksud pak Karto kali ini. Aku rasa pak
karto orang yang aneh. Beliau takbisa di tebak. Kadang begini dan juga kadang
seperti ini. Biarlah yang penting aku bisa menyerap ilmu darinya.
“ Nak formulir pendaftaran lomba
lukis nasional. Bapak mendapatkan ini dari teman bapak. Bapak berharap kalian
berdua bisa mengirimkan hasil lukisan kalian. Bapak yakin diantara kalian akan
menjadi peenangnya.” Kata pak Karto sambil menyerahkan formulir ke tangan
Ditto.
“Iya, pak . Ditto pasti mampu
mengikuti lomba tu. Pasti dia menjadi pemenangnya. Lukisannya saja sudah
spektakuler, ga ada tandingannya dah pak. Pasti ditto bersedia, dia kan calon
pelukis terkenal , pak” kataku kepada pak Karto denagn nada yang bersemangat.
Walau sebenarnya dihatiku aku ingin mengikutinya. Tapi, jangan mimilah, melukis
saja tak bisa , mau ikut lomba lukis. Apalagi tingkat nasional.
“kalian berdua harus ikut!” sahut
pak Karto yang mengkagetkanku sampai-sampai kertas yang ada ditanganku terbang.
“ Betul itu, kalau au ikut kamu juga
harus ikut. Imajinasimu akan menganarkanmu menjai pengajar yang baik” sahut
Ditto.
“A...aku,,uuu maksud pak
Karto?”tanyaku sedikit kaku
“Iya, kalian berdua. Ditto dan kamu
, Narni bapak telah daftarkan ke pantia lomba lukis nasional. Narni, bapak
memberikan kesempatan langka ini kepadamu, tolong manfaatkannya nak. Bapak
yakin jika kau bersungguh-sungguh kemenangan tak akan jauh darimu. Narni, asal
kamu tahu jika nanti kau dapat memenangkan lomba ini, kamu akan memperoleh uang
nak. Dan dari uan itulah kamu bisa meneruskan pendidikanmu nantinya. Dan dari
pendidikanmu itulah kamu bisa menjadi pengajar yang baik. Dari seorang pengajar
yang baik lah indonesia bisa maju. Bukankah itu keinginan terbesarmu, Narni.
Lakuka ini nak !” kata pak Karto dengan wajah meyakinan ku..
“Baik pak, Narni akan lakukan ini
untuk pak Karto” sahut ku kemudian.
“Jangan kau lakukan ini demi bapak,
nak. Lakukan demi Indonesia.” Jawab pak karto dengan bijak.
Kemudian pak karto meninggalkanku
dengan Ditto di ruangan itu. Didalam ruangan itu diperdengarkanlah oleh Ditto
akan lagu anak muda zaman sekarang. Baru kali ini aku mendengarkannya. Memang
di kampungku tak ada radio, televisi apalagi mp3. Aku saja baru tahu itu
setelah Ditto memperkenalkannya kepadaku. Di waktu yang sama , Ditto mengajari
aku bagaimana memegang kuas yang baik dan benar. Tak hanya itu ia juga
mengajarkanku tentang seluk beluk melukis di atas kanvas. Ini memang pengalaman
yang mengesankan dihidupku. Namun, kenapa lagi-lagi rasa yang dulu pernah
datang kini datang lagi. Ak sepertinya suka sama Ditto. Ahhhh ga ga boleh , aku
harus fokus untuk mengikuti lomba lukis itu.
Sudah hampir dua belas hari aku
tinggal di sanggar pak Karto. Saatnya aku pulang ke kampung halaman sebelum aku
mengikuti lomba lukis itu yang sekiranya akan dilaksanakan sekitar satu bulan
lagi. Aku juga harus mengambil hasil UN ku yang akan segera di umumkan. Ku
samapaikan rasa terimakasih kepada pak Karto. Aku pun lantas berpamitan
kepadanya. Tapi, rasanya ada yang menganjal. Aku tak lihat Ditto. Kemana dia ?
Tak namapak batang hidungnya. Aku ingin sekali bertemu dengan nya sebelumak
pulang ke kampung. Kan aku nanti tak ketemu dia satu bulan. Ya memang inilah
yang harus terjadi. Aku serahkan kepada Tuhan . Ahhh pikiran apaan ini , aku
tak boleh memfikirkan tentang cowok , aku tetap harus berpedoman pada prinsipku
, aku harus menjadi pengajar yang baik untuk membangun Indonesia. Kemudian aku
lanjutkan perjalanku ke kampung halamanku. Kali ini aku pulang ke kampung
membawa sedikit bekal untuk bapak dan ibu. Bu Edah memberikan sedikit oleh-oleh
untuk bapak dan Ibu. Aku dantar pak Karto ke terminal bus, dengan menggunakan
motor tuanya. Kira-kira 22 jam ku tempuh untuk bisa samapi ke kampungku. Ibu
dan bapak tak tahu jika aku akan pulang kali ini. Pasti meeka senang akan
kehadiranku , apalagi aku sudah lama meninggalkan rumah. Aku rindu mereka.
Perjalanan yang lama
membuat aku letih. Ku panggul tas dari rumah pak Karto ke halaman rumahku.
Nampaknya bapak dan ibu pergi melaut. Sepi sekali rumah ku. Aku binggung , kenapa
dirumahku sepi. Aku rindu bapak , ib , tapi kemana mereka sekarang. Padahal
ketikaaku di bus , aku membayangkan jika aku tiba di rumah nanti akan ku peluk
ibu dan bapak sekuat mungkin, untuk mengobati rasa rinduku. Tapi, itu semua
hangus , bapak dan ibu pergi entah ke mana muaranya.
“Narni.....Nar....Narni”sahut
seseorang yang ternyata bapak dengan langkah tergesa-gesa.
“Bapak... bapak Narni pulang, Narni
kangen baak dan Ibu.”jawabku.
“Kapan kamu datang nak, ayo
istirahat , nampaknya tubuhmu letih” kata bapak sedikit merangkul tubuhku.
“Kemarin , pak. Pak ibu mana?Apa ibu
tak ada dirumah pak?” tanyaku ke pada bapak . “Ibu
mu pergi , nak.” Jawab bapak denagn
sedikit terbata-bata.
“Oo ibu melaut ?”
“Tidak!Tid...tidak” sahut bapak
sambil eneteskan air mata.
“Ke rumah tetangga atau mungkin
kesungai , pak?” tanay ku heran melihat bapak yang menangmis yang tanpa ku
saddari sebelumnya.
“ Ibumu ,,, Nak, sebelum ibumu
berpean, agar bapak menjaga kamu.Ibumu telah pergi ke Rahmatullah” kata bapak
yang menahan air matanya karena tak ingin melihat nani menangis.
“Maksud bapak? Ibu meninggal?Tak
mungkin pak. Ehmmehhh bapak bercanda” kataku yang tak percaya begitu saja.
“Ibumu jatuh dari tebing saat akan
mengambil daun, karena bapak tak punya uang bapak diamkan ibumu dirumah, dan
karena luka yang di derita cukup parah, dua hari setelah ibu mu jatuh , ibu
meninggal”kata bapak.
“ I,,,i,,,b.buuu , apa yang membat
ibu ergi begitu saja. Kenapa ibu tak menunggu ak bu. Narni sudah dapat ilmu bu,
Narni akan mengikuti lomba lukis dan Narni akan memenangkannya untuk Ibu”
jawabku dengan suara lirih sembari mengeluarkan air mata.
“Nak, jangan tangisi , memang ini
jalan yang harus ibumu tempuh. Tolong jaga amanah ibumu” ata bapak sambil
menenangkan ku.
“ Aku berjanji kepada ibu , aku akan
menjadi pengajar yang baik untuk membawa Indonesia menjad lebih baik lagi”
janjiku pada Ibu yang benar-benar aku ucapkan dengan hati tulus dan ikhlas.
Di dalam kalutnya hati
karena kehilangan ibu, aku masih teringat kata-kata Ditto.Aku harus manfaatkan usia ku yang masih muda dengan menghiasinya dengan ilmu yang membuat diriku
bermanfaat bagi orang lain . Mengapaerasa rapuh seperti ini, Disamping aku
teringat oleh kenangan bersama ibu, aku juga teringat akan sosok Ditto. Ahhhh
tidak , aku harus fokus , aku ini calon pendiri Indonesia yang lebh baik. Walau
aku dirundung sepi , aku tetap berlatih untuk mengikti lomba lukis itu. Kini
aku ada semangat lebih karena , amanah ibuku. Aku akan dan harus melaksanakan
amanah itu. Saat pengambilan hasil UN un tiba. Jantungku dag dig dug derrrr ,
akan ku dapat berapakah nilai UN. Semoga baik diantara yang terbaik. Yang
artinya aku harus menjadi orang terbaik dalam UN kali ini. Bapak yang mengambil
hasilnya pun ikut deg degan . Keluar lah bapak dari ruang kelas. Dipeluknya
diriku erat-erat. Bapak meneteskan air mata. Apa aku tak lulus/ Sehingga bapak
meneteskan air mata.
“Selamat , kamu menjadi terbaik dari
yang erbaik”kata bapak yang senang melihat hasil yang aku peroleh.
“Alhamdulillah, ini merupakan awal
perjuanagan pak, aku akan berusaha untuk memperoleh hadiah dalam lomba lukis
itu, kemudian akan kugunakan uangnya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi, yang akan menjembatani ragaku menjadi pengajar untuk generasi penerus
Indonesia” janjiku yang disaksikkan oleh bapak.
Hari
untuk persiapan lomba lukis tinggal mengjitung hari. Aku memanfaatkan waktu
dengan sebaik mungkin. Ku lukiskan benda-benda disekitar ku. Aku mencari banyak
inspirasi disini.Ku datang ke sanggar pak Karto sehari sebelum lomba. Ku
berharap akan bertemu ditto disini. Namun, nampaknya a belum datang. Biarlah
dia pasti datang dengan sendirinya. Namun, setelah aku berlatih hampir dua jam
lamanya , orang yang ku tunggu tak kunjung datang. Mungkin ia persiapan sendiri
di rumahnya. Aku di latih oleh pak Karto,
diajarkan ku trik- trik untuk melukis denagn hati, agar hasilnya memuaskan. Ku
goreskan tinta dari tepi kanvas satu ke kanvas yang lain. Kuasakan nada lukisanku, di setiap goresan
tinta ku selipkan do’a untuk ibu dan kemajuan Indonesia.
Hari dimana perlombaan digelar. Aku
lagi-lagi tak melihat Ditto. Jujur aku rindu kepadanya. Ternyata kata pak
karto, Ditto datang bersama ayah dan mamanya. Jadi ia tak bisa bersamaku dan
pak Karto. Lonceng tanda dimulainya lomba telah berbunyi. Nadanya mengletarkan
jantungku itu pula yang menambah semangatku berkobar. Tema lukisan ny kali ini
ialah cita dan cinta. Mulai ku lukis kan beberapa gamba di dalamnya. Kali ini
aku melukiskan bendera Indonesia yyang terbang diiringi 2 ekor burung dan
disamping kanan kirinya ku letakkan beberapa pemandangan kampungku yang masih
ada di bayangku. Maksud dari lukiskanku kali ini engambarkan cita-cita ku yang
ingi menjadikan Indonesia lebih dari ini dengan disimbolkan bendera Indonesia
yang erbang tak henti tanpa ada hambatan. Dan ku letakkan dua buruk yang
terbang ialah menggambakan keinginanku untuk memiliki pendaming yang bisa
menerima ku apa adanya. Itulah arti yang tersirat dari lukisanku. Pengumuman
lomba itu akan segera di umumkan. Juara ke tiga memperoleh hadiah sebesar 150
juta rupiah, jaura dua memperoleh 250 juta rupiah. Dan juara pertama ialah 500
juta rupiah. Fantastic! Aku harus merebut salah satu juara itu. Tapi, menurutku
itu sulit, karena juri nya saja ddari Amsterdam . pasti seleranya tinggi. Ya
berdo’a saja. Setelah menunggu lama pengumuman pun dilaksanakan. Tuhan inilah
hidup , aku endapatkan jauara satu. Dan aku memperoleh uang 500 juta rupiah.
Aku senang bukan karena uang nya, namun karena aku akan tetap bisa meneruskan
pendidikanku dengan kemenangan ini.Aku
peluk pak Karto dan Bu Edah. Tak ku bayangkan anak kampung bisa memperoleh
kemenangan seperti ini. Tiba-tiba salah seorang juri dari Amsterdam menemuiku.
Karena ia ak bisa berbicara bahasa Indonsia didampingilah ia dengan salah sat
panitia. Tak kuduga juri itu
ternyata mengajak ku untuk pergi ke
Amsterdam dan melanjutkan kuliah disana. Ini mimpi? Fikirku saat itu. Ingin ku
lompat ke sana ke mari karena kebahagiaanku. Tanpa fikir lama , aku iyakan
tawaran juri itu. Aku senang sekali.
Dalam suasana yang
membahagiakan datang Ditto denagn membawa bunga ditangannya. Aku binggung
mengapa ia menyodorka bunga itu kepadaku. Ahhh biarlah.
“ Nar, au mau ngomong sesuatu. Aku
mohon kamu jangan pergi ke Belanda, aku suka sama kamu” kata Ditto sambil
memberikan bunganya ke tangan mungilku.
“Aku juga mungkin suka, tapi, aku ga
tahu apa aku benar –benar suka apa hanya sekedar kagum semata.” Jawabku.
“ Aku tahu kamu ada erasaa denganku.
Maka dari itu, jangan kau lanjutkan studymu ke Belanda.”kata Ditto seikit
memaksa.
“Tidak!!! Kamu ga bisa melarang ku ,
apa-apaan ini dulu kau pernah bilang denganku manfaatkan usia mu yang masih
muda dengan menghiasinya dengan ilmu yang membuat dirimu bermanfaat bagi orang
lain. Mengapa kamu termakan oleh lidamu sendiri. Ditti walaupun aku suka dan
sayang kepadamu , tak akan ku lorbankan pendidikanku demi kamu. Tetap aku akan
prgi ke Amsterdam dan akan ku bangun negeriku. Aku aan berlari Ditto walau
telapk ini terluka. Aku rela , aku akan korbankan nyawa ini untuk negeriku, maaf
Ditto. Jika Ka milikku pasti ada jalan untuk kesana. Selamat tinggal Ditto.
Maaf aku lebih memilih ilmu dari pada cintaku.” Jawabku didepan Dito sambil
menahan air mata, karena sebenarnya aku berat untuk mengungkapkannya.
Kemudian ku berlari
menajuhi Ditto. Dari kejauhan nampak rauh Ditto yang kecewa akan sikapku ini.
Tapi, biarlah aku akan tetap lakukan ini. Dari tempat lomba itu , kemudian aku
pulang ke kampung untuk mengambil barang yang akan ku bawa ke Belanda. Aku
berniat sekali mencari ilmu ke sana. Karena janjiku ke pada ibuku. Setelah
selesai pergi ddari makam bu, aku dianatar bapak ekota. Ku cium kening dan pipi
bapak disana. Tak lupa kku ucapkan banyak terimakash kepadda pak Karto. Karena
beliaulah aku bisa seperti ini. Setelah ku sampaikan salam perpisahan, aku
terbang menggunakan pesawat ke Belanda. Aku jujur akan berbuat apa disana
nanti. Apa akan ku ingat ibu pertiwi? Semenara banyak orang bercerita akan
enakknya bekerja dinegeri orang dengan bergelimang uang. Tapi, sebenarnya yang
akumnta buakanlah itu.
Ku ambil jurusan seni
lukis disana. Setelah aku mendapatkan gelar strata satu, aku berniat
melanjutkan strata dua kembali di tempat yang sama yaitu di Belanda mengambil
tekhnik pertanian dan pangan. Karena setelah lulus nanti aku berniat kembali ke
Indonesia, dan menerapkan ilmu ku di tanh pertiwi ku. Aku mengambil jurusan
teknik pertanian dan pangan , karena aku rasa sampai saat ini Indonesia masih
krisis dalam bidang pangan dan pertanian. Padahal jika ditelusuk Indonesia kaya
akan sumber pangan , karena Indonesia merupakan negara agraris . Semuanya ada,
namun, kenapa Indonesia masih membeli barang dari negara lain. Padahal barang
yang negara beli ialah bahan pokok. Kemanakah hasil sumber daya alam Indonesia.
Sementara, di pelosok Indonesia masih banyak sekali orang yang kelaparan ,
karena mereka kekurangan akan makan. Banyak sekali keluarga Indonesia yang
terkena busung lapar. Padahal dari bebagai negara Indonesia termasuk penghasil
sumber makanan pokok di dunia. Dengan keadaan negara ku yang selalu mebayangi,
aku bertekad untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk dapat memulihkan keadaan
Indonesia, baik di bidang apapun. Dan
setelah ini, aku akan menjadi seorang pengajar di sebuah fakultas di Indonesia . Walau disini
aku ditawari menjadi dosen dengan bayaran 4 kali lipat di bandingkan menjadi
pengajar di Indonesiaukannya aku sombong akan ilmuku yang kini aku dapatkan,
aku berusaha giat membangun negeriku, tumpah darahku, karena dari Indonesia lah
aku dibesarkan, dari sini lah jiwaku menggantung. Tapi, aku memilih pulang ke
Indonesia dan aku akan mengajarkan ke adik-adikku tentang ilmu pangan dan
pertanian . Agar mereka bisa membangun pertanian yang lebih baik lagi di tanah
pertiwi ini. Aku akan mengajar samapi nafas
diparu-paru ku ini habis walau telapak kakiku berdarah aku akan tetap
berlari demi Indonesia.
Setelah ku peroleh
beberapa ilmu dari negara kincir angin selama kurang lebih sepuluh tahun, ak
kembali ke Indonesia. Untuk kembali ke negeriku tidak mudah. Karena sebelumnya
aku terikat kontrak dengan perusahaan sasta disana. Tapi, dengan sekuat tenaga
dan cara aku tempuh agar aku bisa keluar dari pekerjaan itu untuk pulang ke
Indonesia. Selama aku disana aku dipekerjakan di sebuah perusahaaan di bidang
angan, jabatan yang aku miliki sudah cukup bagus. Gaji yang diperoleh pun cukup
menggoda, jika dibandingkan menjadi seorang dosen di Indonesia. Tapi, karena
rasa cinta ku pada tanh air, karena ku ingin membangun negeriku dan janjiku
kepada ibu, ku lepaskan jabatanku untuk negaraku.Setelah aku terbang dari
Amsterdam ke Indonesia, aku seperti tak terbayang wajag kampungku. Bagaimana
sekarang keadaan ayah, aku rindudan aku ingin mengsapkedua pipinya dan aku
ingin pula mencium keningnya. Ku tapaki bandara Soekarno Hatta dengan semangat
karena bapak telah menunggu bersama pak Karto. Seama sepuluh tahun aku pergi,
bapak sengaja aku titipkan ke pak Karto . Karena aku khawatir dengan
keadaannya. Pak Karto pun tak keberataan. Di sanggar itu , bapak ikut belajar
melukis.
Ku lihat dua pria yang
sudah mulai tua di lobi bandara. Aku rasa itu baoak dan pak Karto. Benar itu
mereka , walau sudah sepuluh tahun aku pergi wajah mereka tetap sama. Tidak ada
perubahan yang berarti.Ku hampiri bapak dan pak Karto. Ku gampai tangan meereka
berdua, ku cium sampai aku meneteskan air mata. Tuhan terima kasih. Dari
kampung ku berjuang , dari perahu reot ku bertahan hingga sekarang aku bisa
menggapai anggan. Tapi, Tuhan perkenangkanlah diriku sejenak untuk membangun
negeriku, setelah pendidikan yang aku peroleh dari negeri kincir iru.
Perkenankanlah agar ilmuku bermanfaat nanatinya.
“ Bapak, aku rindu engkau”kataku
dalam pelukan bapak.
“Nak, bapak mana yang ak rindu
anaknya setelah anaknya berjuang”jawab bapak sambil mengelus-elus rambutku.
Dua
hari ku tinggal di Inonesia, aku mendatangi kampung halamanku. Sekarang sudah
sedikit berbeda. Listik sudah mulai ada. Kududuk di bawah pohon dan merenungkan
kembali kisah lalu ku. Ku berjalan mengitari hutan untuk dapat menuntut ilmu.
Jembatan yang sudah tua ditambah sungai dengan aliran yang tak bersahabat
menambah deretan pengorbananku untuk meraih kesuksesan. Aku Narni, dari desa
dipelosok Indonesia, tak banyak orang tahu daerahku, listrik masih jarang
ditambah medan yang sangat mematikan. Dari daerahku , aku harus menempuh jarak
sekitar 20 km untuk pergi sekolah . Bayangkan saja, jika naik paerahu berapa
lama waktu yang harus aku tempuh. Tak hanya perahu tua yang aku tumpangi , aku
harus terlebih dahulu berjalan 5 km ke tepian sungai. Menuruni bukit, menyebrangi
jembatan hingga harus pula melintasi sungai yang banyak sekali binatang buas .
Banyak memang anak di daerahku yang tak sekolah .Keinginan pertamaku untuk daerahku ialah membangun
pembangkit listrik dengan tenaga air. Ada sebuah lokasi didaerahku yang bisa
dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik. Aku pelajari buku yang
diberikan guruku, aku pelajari bagaimana cara membangkitkan listrik menggunakan
tenaga air. Hingga suatu ketika, dimana aku sudah mengerti cara membangkitkan
lstrik menggunakan bantuan air, aku mulai melakukan kegiatanku itu. Ku
kumpulkan alat yang diperlukan, dan aku mengumpulkan saudaraku untuk mulai
membangun pembangkit listrik itu. Seharian aku tak berhenti untuk berusaha agar
alat yang aku ciptakan bisa berbuah manis. Tapi, setelah aku coba , alat itu
tak berjalan dengan baik. Banyak orang yang mencemoohku akan hal ini. Aku
sedikit gusar. Tuhan mengapa kau tak ijinkan aku untuk membangun listrik
didaerahku, padahal aku sangat membutuhkannya. Karena kecintaanku kepada daerah
asalku, walau banyak orang yang mencerca, aku tetap berusaha sendiri membangun
pembangkit listrik itu. Ku bekerja sendiri setiap hari , ku bangun pukul 2 pagi
, kucoba alatku setiap saat. Entah apa
sesungguhnya rencana Tuhan , sudah berulang kali aku berusaha namun tetap
gagal. Hingga aku sempat ingin putus asa. Aku telah menghabiskan sekitar 3
bulan waaktu ku untuk membangun pembangkit listrik namun belum nampak hasilnya.
Aku sebenarnya ingin berhenti, tapi, jika aku berhenti , bagaimana nasib desaku
seterusnya. Apa akan tetap gelap gulita??? jika seperti ini tak akan maju
negaraku, gimana bisa maju. Daerahnya saja, masih sangat tertinggal , untuk menggunaan
listrik saja belum bisa. Dan karena ini merupakan salah satu keinginan
terbesarku selama ini, dengan rasa yang optimis aku tetap berusaha , membangun
pembangkit listrik itu. Aku butuh waktu
hampir 4 bulan untuk menyelesaikan alat pembangkit listrik itu. Aku berusaha
sendiri, aku bangun sedikit demi sedikit. Ku kumpulkan tenagaku untuk daerahku.
Banyak sekali orang yang mencemoohku karena ulahku yang aneh dimata mereka. Aku
juga sempat di larang oleh bapak ibuku. Aku tak boleh keluar , jika aku tetap
menjalankan aksiku itu, aku tidak dierbolehkan pergi ke sekolah. Aduhhh harus
bagaimanakah aku ini. Tuhan tolong aku , buka kan lah pintu hati bapak dan
ibuku agar aku bisa menyelesaikan impianku ini. Tetap saja, ibuku dan bapakku
melarang, harus bagaimana aku ini.
Sedikit membangkang , aku tetap berusaha menjalankan aksiku itu dengan
diam-diam. Aku keluar tengah malam disaat ibu dan bapak pergi ke laut. Aku
sempatkan waktu beberapa menit setelah pulang sekolah untuk pergi ke tepi
sungai yang alirannya cukup deras. Ahhh lamunan itu, aku ingat sekali , itulah
pengorbanan sorang anak bumi.
Setelah cukup puas, akhirnya aku kembali
Jakarta. Aku sudah siap menjadi dosen disana. Aku rasa keinginan ku akan
terwujud. Akan kuajarkan anak didik ku tentang ilmu –ilmu pertanian agar mereka
bisa mengubah Indonesia ke arahyang lebih baik. Agar mereka kembangkan tanah
ini, agar saudara-saudaraku tak ada lagi yang kelaparan. Agar Indonesia lari
dari keterpurukan , entah apa ini akan terjadi atau pun tidak, namun aku akan
tetap gigih untuk mempertaruhkan pendidikan. Aku akan mendirikan sekolah yang
layak bagi saudara-saudaraku di pelosok sana. Agar mereka juga merasakan
indahnya mengenyam bangku pendidikan. Aku memang berpegang teguh terhadap ilmu
dan pendidikanku. Aku ingn pendidikan yang telah aku raih , dapat aku
manfaatkan walau dulu aku sangat susah payah untuk mendapatkannya karena itu
merupakan roses. Walau banyak hujatan dari berbagai ihak , itu pun akan ku
terobos. Akan ku korbankan cinta dan perasaanku demi ilmu. Karena menurutku
ilmu lah pembentuk manusia. Tanpa imu apa kita bisa bertahan , menurutku
mustahil. Karena dari ilmu – ilmu lah penemuan akan pangan berkembang,
pengetahuan pun diciptakan oleh ilmu menurutku. Jadi, aku pun harus berilmu,
karena orang yang berilmu itulah dirinya bisa terbentuk. Disamping ilmu , pasti
ada penyebar ilmu itu. Ia adalah guru. Guru bagiku bapak atau ibuku. Apalagi
setelah ibuku tiada, ku anggap guruku ibuku. Aku ingat salah satu puisi yang
dikutip dari salah satu situs .
Puisi Bumi, Bukan Bumi
Hamparan tanah itu terlihat
Rindangnya pepohonan, pun hidup subur nian sejuknya
Ada pendopo, Mushola dan berbagai bangunan bernaung
Di bawah kesejukannya…
Kesejukan itu, nian indah oleh hadirnya Pemandangan
Dikala langkah kaki, mulai menapak
Bumi, bukan bumi itu… kian memukau
Ada rumah kayu sederhana , nan terbuka pintunya
Singgah disana sang suri tauladan..
Terpukau ku bisa bersua dan menuai wawasan
Beliau bergelar Guru spiritual bangsa
Gurunya para guru, para tokoh yang menyebutnya..
Beliau sederhana dalam busana
Berwibawa aura pribadinya, bijaksana sikapnya
Dan aku pun kian mengaguminya
Kagum akan petuahnya,
Dikala terdengar senandung hikmahnya
Setiap mata pun tertunduk pandang
Kepala spontan mengangguk,
Banyak bibir bungkam seribu bahasa,
Apabila langkah beliau menghampiri,
Indra mata tak mampu lagi menembus pandang
Melirik kesana-kemari
Akan terkulai sungkem,mengecup tangan mulianya.
sungguh engkaulah guru sejati..
Detik-detik hidupnya untuk dedikasi
Mendidik santri, dengan jujur nan bakti
Tiada keluh kesah, tiada pula gundah
Hatiku kian terpaut, pikiran yang gamang pun terbang melayang
Dikala..berkumpul bersamanya ,
Jua Segerombolan orang, Busananya serba putih….
Baju koko, kopyah, sarung jua sorbannya…
Sekilas memancarkan kemilau cahya
Bercahaya…bagai serpihan yang tertabur dari langit,
menjelma jadi jutaan garis cahya dalam lorong gelap,
lalu meresap bagai air dalam tiap pori-pori jiwa
Seantero mata negri secakrawala, bertandang ingin memandang
Bersemayam di hati.. Akan tumbuh tenteram dan ter-ayomi
Kala kaki masih berpijak, jua melangkah
Pada Bumi, bukan bumi. ini…….!!!
Hamparan tanah itu terlihat
Rindangnya pepohonan, pun hidup subur nian sejuknya
Ada pendopo, Mushola dan berbagai bangunan bernaung
Di bawah kesejukannya…
Kesejukan itu, nian indah oleh hadirnya Pemandangan
Dikala langkah kaki, mulai menapak
Bumi, bukan bumi itu… kian memukau
Ada rumah kayu sederhana , nan terbuka pintunya
Singgah disana sang suri tauladan..
Terpukau ku bisa bersua dan menuai wawasan
Beliau bergelar Guru spiritual bangsa
Gurunya para guru, para tokoh yang menyebutnya..
Beliau sederhana dalam busana
Berwibawa aura pribadinya, bijaksana sikapnya
Dan aku pun kian mengaguminya
Kagum akan petuahnya,
Dikala terdengar senandung hikmahnya
Setiap mata pun tertunduk pandang
Kepala spontan mengangguk,
Banyak bibir bungkam seribu bahasa,
Apabila langkah beliau menghampiri,
Indra mata tak mampu lagi menembus pandang
Melirik kesana-kemari
Akan terkulai sungkem,mengecup tangan mulianya.
sungguh engkaulah guru sejati..
Detik-detik hidupnya untuk dedikasi
Mendidik santri, dengan jujur nan bakti
Tiada keluh kesah, tiada pula gundah
Hatiku kian terpaut, pikiran yang gamang pun terbang melayang
Dikala..berkumpul bersamanya ,
Jua Segerombolan orang, Busananya serba putih….
Baju koko, kopyah, sarung jua sorbannya…
Sekilas memancarkan kemilau cahya
Bercahaya…bagai serpihan yang tertabur dari langit,
menjelma jadi jutaan garis cahya dalam lorong gelap,
lalu meresap bagai air dalam tiap pori-pori jiwa
Seantero mata negri secakrawala, bertandang ingin memandang
Bersemayam di hati.. Akan tumbuh tenteram dan ter-ayomi
Kala kaki masih berpijak, jua melangkah
Pada Bumi, bukan bumi. ini…….!!!
Dengan sekuat tenaga aku
akan mempertaruhkan pendidikan Indonesia, aku akan tetap berlari untuk kemajuan
negaraku.