Rabu, 29 Januari 2014

ku lari untuk Indonesia


Ku lari Untuk Indonesia
Ku berjalan mengitari hutan untuk dapat menuntut ilmu. Jembatan yang sudah tua ditambah sungai dengan aliran yang tak bersahabat menambah deretan pengorbananku untuk meraih kesuksesan. Aku Narni, dari desa dipelosok Indonesia. Tak banyak orang tahu daerahku, listrik masih jarang ditambah medan yang sangat mematikan. Dari daerahku , aku harus menempuh jarak sekitar 20 km untuk pergi sekolah . Bayangkan saja, jika naik perahu berapa lama waktu yang harus aku tempuh. Tak hanya perahu tua yang aku tumpangi , aku harus terlebih dahulu berjalan 5 km ke tepian sungai. Menuruni bukit, menyebrangi jembatan hingga harus pula melintasi sungai yang banyak sekali binatang buas . Banyak memang anak di daerahku yang tak sekolah . Mereka hanya memikirkan untuk bekerja. Mereka bekerja membantu orang tua dengan  cara bertani , berladang dan menangkap ikan di sungai. Banyak sekali anak di daerahku yang hanya memikirkan saat   ini saja, bukan masa depan. Seharusnya mereka lebih bisa berpikir jauh untuk masa depannya. Aku ingin sekali mengubah pola pikir mereka, tapi aku rasa itu sulit sekali. Karena didalam pikiran masyarakat kampungku hanya bekerja dan bekerja, bukan sekolah untuk bekerja di masa depan. Aku juga sempat heran mengapa daerahku masih sangat tertinggal. Aku sempat miris melihat kondisi masyarakat dikota sana. Semua bisa mereka lakukan. Sedang kami disini masih sangat tertinggal. Untuk mencari listrik saja sulit apalagi mau menonton televisi, mungkin itu langka sekali. Kita bisa menikmati  tayangan film mungkin dua tahun sekali jika ada layar tancep yang datang ke desaku. Aku sebagai anak Indonesia merasa sedih, mengapa saudaraku di kota bisa melakukan hal –hal yang bisa mengubah hidup mereka, sementara kami yang berada di desa tidak bisa. Di otakku hanya ada keinginan untuk bisa merubah kampung halamanku, tetapi tetap berporos pada ajaran yang sebenarnya. Aku berusaha menuntut ilmu walau jauh disana. Aku  ingin sekali menjadi wakil rakyat nantinya agar bisa menyampaikan aspirasi saudaraku disini. Aku ingin menghapuskan korupsi dari tanah pertiwi dan aku ingin menciptakan Indonesia lebih dari ini. Walau terkadang, aneh untuk    aku lakukan. Untuk menuntut ilmu bagi ku itu sulit, karena apa? Karena untuk sekolah saja sulit ditambah banyak hal lain yang mengikutiku. Indonesia yang selalu aku genggam erat di kepalan tanganku, kini ia sedang meneteskan air mata. Banyak anak buahnya yang masuk dalam lubang hitam. Mereka tak sadar akan pengorbanan para pahlawan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, setelah mereka besar mereka malah menghancurkannya. Rentetan masalah datang menimpa negeriku. Yang lagi booming ialah tikus yang sedang mengerati harta Indonesia. Seharusnya mereka bisa berfikir, mereka dibesarkan oleh negara dan mereka pula harus membesarkan negara bukan malah menambah masalah. Yang aneh, tikus itu merupakan orang yang berpendidikan tinggi. Aku sempat berpikir untuk apa sekolah tinggi namun akhirnya membuat dosa. Tapi, karena tekadku yang sangat bulat, aku tetap akan menimba ilmu sampai memori otakku penuh dan akan ku bangun negeriku dengan ilmu yang diiringi rasa iman dan taqwa.
Negeri yang sudah lama merdeka ini, aku rasa bisa lebih maju. Negeriku seperti ini , karena mungkin banyak pengawet di samping kanan dan kirinya, yang tentunya seperti korupsi. Aku yang berperawakan kulit sawo matang hidup di pelosok negeri , sangat bangga sebenarnya menjadi warga Indonesia . Walau keadaan yang seperti ini aku tetap bertekad untuk membangun Indonesia nantinya. Cita-citaku yang ingin menjadi anggota DPR kini sudah mulai luntur. Aku lebih ingin menjadi Dosen atau guru. Menurutku inilah pekerjaan yang bisa merubah keadaan Indonesia. Sebab, gurulah yang mengajarkan anak didiknya yang nanti akan memimpin Indonesia. Aku akan berjuang keras untuk menjadi pengajar, karena dari gurulah tumbuh seorang bupati hingga presiden. Dari gurulah sebenarnya negeri itu bisa dibangun. Sebab, ketika anak didik di ajar , guru akan berpesan dan mengajarkan untuk membangun negeri Indonesia.
Aku yang kini hidup pas-pasan memang sulit untuk mewujudkan cita-citaku itu, karena rintangan untuk menimba ilmu cukup mematikan. Dilihat dari medan yang harus ku tempuh sampai aku harus berjuang melawan katuk. Karena apa, ku  harus bangun pukul 4 fajar  , agar aku bisa sampai sekolah tepat waktu. Sementara, setelah sampai disekolah , aku masih harus berjuang kembali, sekolah yang sudah tua, dan fasilitas kurang memadai. Apalagi jika hujan mengguyur, disaat inilah semangatku luntur. Sekolah yang sudah tua, di tambah tetesan air yang masuk ke ruang kelas. Aku merasa malas dan ingin menyalahkan keadaan yang sedang aku alami. Aku juga anak negeri , mengapa anak yang berada di Metropolitan dapat merasakan kenikmatan sekolah sementara aku tidak bisa. Jika saja, aku mendapatkan kesempatan itu, aku pasti bersyukur. Dengan keadaan yang begini saja , aku sudah bersyukur, mengapa kawanku yang disana tidak. Padahal sekolah mereka lebih layak dari ini. Entahlah dimana fikiran mereka yang sesungguhnya. 
Kini aku menginjak bangku SMA, sebab aku merasa geregetan dengan keadaan yang menimpa daerahku. Disekolah aku bersungguh-sungguh , untuk belajar. Keinginan pertamaku untuk daerahku ialah membangun pembangkit listrik dengan tenaga air. Ada sebuah lokasi didaerahku yang bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik. Aku pelajari buku yang diberikan guruku, aku pelajari bagaimana cara membangkitkan listrik menggunakan tenaga air. Hingga suatu ketika, dimana aku sudah mengeti cara membangkitkan lstrik menggunakan bantuan air, aku mulai melakukan kegiatanku itu. Ku kumpulkan alat yang diperlukan, dan aku mengumpulkan saudaraku untuk mulai membangun pembangkit listrik itu. Seharian aku tak berhenti untuk berusaha agar alat yang aku ciptakan bisa berbuah manis. Tapi, setelah aku coba , alat itu tak berjalan dengan baik. Banyak orang yang mencemoohku akan hal ini. Aku sedikit gusar. Tuhan mengapa kau tak ijinkan aku untuk membangun listrik didaerahku, padahal aku sangat membutuhkannya. Karena kecintaanku kepada daerah asalku, walau banyak orang yang mencerca, aku tetap berusaha sendiri membangun pembangkit listrik itu. Ku bekerja sendiri setiap hari , ku bangun pukul 2 pagi , kucoba alatku setiap saat.  Entah apa sesungguhnya rencana Tuhan , sudah berulang kali aku berusaha namun tetap gagal. Hingga aku sempat ingin putus asa. Aku telah menghabiskan sekitar 3 bulan waaktu ku untuk membangun pembangkit listrik namun belum nampak hasilnya. Aku sebenarnya ingin berhenti, tapi, jika aku berhenti , bagaimana nasib desaku seterusnya. Apa akan tetap gelap gulita??? jika seperti ini tak akan maju negaraku, gimana bisa maju. Daerahnya saja, masih sangat tertinggal , untuk menggunaan listrik saja belum bisa. Dan karena ini merupakan salah satu keinginan terbesarku selama ini, dengan rasa yang optimis aku tetap berusaha , membangun pembangkit listrik itu.  Aku butuh waktu hampir 4 bulan untuk menyelesaikan alat pembangkit listrik itu. Aku berusaha sendiri, aku bangun sedikit demi sedikit. Ku kumpulkan tenagaku untuk daerahku. Banyak sekali orang yang mencemoohku karena ulahku yang aneh dimata mereka. Aku juga sempat di larang oleh bapak ibuku. Aku tak boleh keluar , jika aku tetap menjalankan aksiku itu, aku tidak dierbolehkan pergi ke sekolah. Aduhhh harus bagaimanakah aku ini. Tuhan tolong aku , buka kan lah pintu hati bapak dan ibuku agar aku bisa menyelesaikan impianku ini. Tetap saja, ibuku dan bapakku melarang, harus  bagaimana aku ini. Sedikit membangkang , aku tetap berusaha menjalankan aksiku itu dengan diam-diam. Aku keluar tengah malam disaat ibu dan bapak pergi kelaut. Aku sempatkan waktu beberapa menit setelah pulang sekolah untuk pergi ke tepi sungai yang alirannya cukup deras.
            Selang beberapa bulan lamanya, akhirnya dengan ku ucap bismillah aku mulai mengoperasikan alat yang aku susah payah buat itu. Aduhhhh,,, Tuhannn, ini membuatku  senang sekali. Ternyata alat ku ini bisa menghidupkan lampu . Beberapa orang kaget . Dan mereka sangat senang daerahnya bisa mendapatkan listrik juga. Bapak ibuku sontak memberikan jempol tanda bangga padaku. Semua warga bergembira dan mereka berterimakasih kepadaku. Aku merasa puas sekarang. Tapi, mimpiku tidak hanya ini, aku masih punya banyak mimpi untuk Indonesia yang mungkin sulit dilakukan seperti menjadi pengajar untuk generasi pembangun negara yang berbudi baik .
            Tak hanya mimpi itu saja, di otakku ada rentetan mimpi untuk kemajuan Indonesia . Dan khususnya pendidikan Indonesia. Setelah aku berhasil membangkitkan tenaga listrik di daerahku, aku tetap belajar dengan tekun. Karena apa, daerahku belum sepenuhnya terpasang listrik. Karena tenaga yang dihasilkan dari alat itu berskala kecil. Aku yang sebentar lagi akan mengikuti ujian Nasional , pastinya menyiapkan betul materi-materi yang akan diujikan. Aku perlu ekstra belajar agar nilai UN ku sempurna. Sebab, sekolah yang aku tempati, belum bisa memberikan materi untuk UN sepenuhnya. Sekolah yang berada di pinggiran sungai , tanpa diperhatikkan oleh pemerintah. Buku pelajaran tak pernah ada dimeja. Jika ada itu pun pinjaman dari sekolah lain. Untuk UN pun harus menumpang di SMA lain. Butuh waktu 1 jam ke sekolah tersebut. Harus berangkat jam berapakah aku ini Tuhan??? Tuhan berikanlah kemudahan dalam belajarku, karena hanya satu pitaku Tuhan. Jadikanlah aku nantinya pengajar yang baik untuk membangun Indonesia. Lari dari masalah UN. Kepalaku pening lagi. Karena harus kemanakah aku stelah ini? Aku ingin melanjutkan kuliah , namun apa kuat orang tuaku membiayainya. Walau.... banyak disana universitas yang menyediakan bidik misi. Tapi, apa akan diselipkan namauku disana? Aku sendiri pun tak tahu. Entahlah apa akan terwujud keinginanku ini.
UN kini tinggal menghitung jam. Kiranya 1 jam lagi UN pertama akan terlaksana. Gimana dengan nasibku setelah ini? Tuhan aku ingin melanjutkan studyku tapi , adakah jalan untuk ini???Aku hanya berdo’a dan membayangkan jika kelak aku sukses dengan menjadikan ragaku ini pengajar yang baik. Lonceng sontak terdengar. Waduh inilah hari yang menentukkan. Bisakah aku memperoleh nilai sempurna. Ah jangan fikirkan nila dulu , namun ilmu yang selama ini aku peroleh pasti akan muncul dengan sendirinya. Karena sesungguhnya kita sekolah ga nyari nilai namun cari ilmu. Jika kita cari ilmu , nilai akan mengikuti dengan sendirinya. Ya sudahlah berusaha  dulu. Pasti akan terbuka pintu itu. Jantungku sontak berdebar. Akankah aku kuat menjalani ini semua. Tuhan bantulah aku. Karena Kaulah aku lakukan ini. Jangkahan kaki ini aku iramakan didalam hati. Bismillah, bismillah . Aku selipkan irama keagamaan dalam jangkahku menuju ruang ujian. Kududuk dengan tegap tanpa ada beban didalamnya. Tenang, semua akan berjalan dengan baik. Dua jam waktuku mengerjakan soal itu. Aku optimis aku akan berhasil. Itu pun aku benar 2 jam pertama aku lalui dengan baik. Alhamdulillah. Hari kedua dan hari-hari berikutnya aku lakukan pula . Ujian Nasional yang  aku lakukan ini , aku rasa sukses. Tapi , entahlah nilai yang akan keluar nantinya. Pengumuman kelulusan akan diberitahukan sekitar satu bulan lamanya. Aku tidak sabar, aku ingin tahu nasibku sekarang dan didetik ini juga. Tapi, aku lagi-lagi harus bersabar. Disela-sela menunggu pengumuman , aku tetap belajar dan belajar . Karena bagiku, aku ingin tetap ilmu yang ada di otakku abadi dan tidak akan luntur. Oleh karenanya, aku tetap harus melumasinya.
Dua minggu setelah UN aku memberanikan diri untuk pergi ke kota. Dengan bekal minim aku berangkat ke kota menumpang mobil sayuran. Bapak dan ibuku bingung dengan aksiku kali ini. Karena alasanku ke kota ialah ingin cari ilmu. Sebenarnya aku ingin ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan jika aku mendapatkan kerja pasti aku bisa membiayai sekolahku nantinya. Tapi, aku harus kerja apa? Aku tidak punya keahlian sama sekali . Hingga saat aku di kota aku menjumpai tempat yang asing bagiku, yaitu sanggar lukis. Aku binggung disitu. Banyak coretan tinta yang tidak teratur. Namun, itu seni . Ya itulah seni. Ku lihat seisi sanggar itu. Hingga aku ditanya seseorang pak tua disana. Ditanyanya keadaan dan maksudku datang ke tempatnya. Jawab apa aku kali ini.
            “Mau cari ilmu pak , buat bekal masa depan.” Spontan jawabku.
            “Kalau mau cari ilmu disini itu kamu harus menunjukkan keahlian yang kamu miliki, dengan begitu kamu akan diterima di sanggar seni ini.”
            “Jika saya memiliki keahlian yang mumpuni, saya tidak akan meminta Bapak untuk menerima saya di sanggar ini. Oleh karena itu izinkanlah saya untuk menimba ilmu disini Pak.”
            Dengan menganggukkan kepala Pak Tua itu berkata, “Emm... Baiklah. Saya lihat kamu ini anak yang memiliki prinsip yang teguh, untuk itu kamu saya beri kesempatan untuk menimba ilmu di sanggar ini, namun apabila kamu tidak dapat menunjukkan kesungguhanmu dalam belajar disini, saya sendiri yang akan mendepak kamu dari sanggar saya, kamu mengerti.”
            “Ya Pak, saya akan menjaga kepercayaan dan kesempatan yang telah Bapak berikan kepada saya.”
             Kata itulah yang diucapkan Pak Tua yang kemudian ku ketahui namanya Pak Narno ketika untuk pertama kali ia bertemu denganku.
            “Saya rasa untuk belajar disini cukup banyak mengeluarkan uang pak. Saya tak mampu itu. Untuk pergi kesini saja saya numpang, saya juga tidak tahu gimana hidup saya seterusnya dengan kepingan uang logam ini. “Yang saya butuhkan tidak uang, kemauanlah yang sebenarnya mendorong ke arah kemajuan. Dan juga niat kamu itu sangat mulia sekali. Buat apa banyak uang namun niatnya tidak dapat tersampaikan”kata pak tua. Dari kata pak Tua itu aku mulai mengerti , jika pemilik sanggar itu lebih menghargai orang yang menghormati ilmu dari pada uang. “jika bapak bertanya, akankah kau menjawabnya nak?”sahut pak tua pemilik sanggar. “Jika pertanyaan itu ada muaranya pasti ada hulunya, tentu saja saya jawab pak.”Jawabku  kala itu. Tak disangka sebelumnya , aku dtawari oleh pak tua itu untuk masuk sanggar lukis tanpa dipungut biaya. Sekejab   darahku seperti berhenti. “Apa mungkin pak, raga sekecil ini, dengan ditambah tak ada kemampuan yang bisa untuk dikembangkan masuk ke sanggar ini?”tanyaku dengan sedikit membangkang. “Tak ada yang salah, saya tahu kemampuanmu nak, tak satu , dua hari saya berkecimpung didunia lukis”. “Tapi, harus kemanakah saya menemukan kemampuanku itu” tanyaku pada pak tua. “Sebenarnya janganlah kau mencari cahaya kemana-mana, cahaya itu ada didirimu sendiri. Namun, cahaya itu perlu diolah lebih lagi” jawab  pak tua dengan memaksaku untuk masuk ke dalam sanggar. Didalam sanggar nampak anak-anak yang melakukan berbagai aktivitas. Ada yang mencoret-coret di kanvas, ada pula yang mencoret-coret dinding. “Eh, anda ini tak tahu diuntung”kataku pada salah seorang anak yang mencoret-coret tembok. “Maaf apa maksud anda? Ini memang kegiatan saya, Apa ada masalah dengan anda? Terus anda siapa?” jawab salah seorang dari sudut sanggar. “Saya yang hidup dikampung ingin sekali mencari ilmu dikota, disini lengkap. Nggak seperti di daerahku, anda seharusnya bersyukur , bukan membuat onar dengan mencoret-coret tembok seperti ini” sahut ku dengan sedikit kesal. Tanpa kusangaja, pak tua datang dan menepuk pundakku. “ Nak, mereka bukan bikin onar, inilah seni. Memang di sanggar ini ada beberapa kelas, dan ini salah satunya. Mereka ini punya potensi dalam bidang lukis , bukan bikin onar” kata pak   tua menjelaskannya padaku. “Iya, mba inilah seni, seni itu tidak ada batasannya, jadi kita bisa menerapkannya dimanapun, akan tetapi tetap saja yang kita lukiskan harus tetap beretika” sahut salah satu siswa dari ujung ruangan sanggar. “Iya mas , maklumlah saya dari pelosok. Saya tak tahu tentang ini semua. Yang saya tahu hanya sungai , ladang dan sawah, itupun hanya didaerah saya” sahut ku dengan rasa malu karena aku telah membentak anak-anak yang mencoret-coret tembok. “ Kalau boleh tahu siapa nama mba?” tanya salah seorang murid. “Nama ku Narni” jawabku dengan nada sedikit gugup. Tak tahu mengapa, baru kali ini aku lihat pria semanis ini, jika dilihat kalau tampan ga juga, tapi ia manis sihh, dikampungku ga ada pria semanis ini . “Mba,,, halooo, kok diam???Kenapa ???Owalah ,,, ,,,, kamu kagum ya sama saya? Sampai-sampai lirikkan mata mba gitu.Biasa kali mba. Aku Ditto. Senang bertemu denganmu Narni” Kata salah seorang siswa sanggar yang ternyata bernama Ditto. Tak kusangka, ternyata sampai segitunya aku kagum dengan Ditto. Sampai-sampai aku melamun sendiri , jadi malu aku. Haduh ini ya anak kampung yang liat pria kota. “E..em nda papa, Dit. Ya baru kali ini aku liat pria semanis kamu , dikampungku ga ada. Disana pria – prianya biasa , kulit hitam, pendek dan hidung pesek. Beda sama kamu, udah manis, tinggi, putih dan kalau aku liat kamu ga bosen dah” sahutku tanpa disadari kat-kataku itu ditertawakan seisi sanggar. Aku seperti orang yang ga pernah liat lawan jenis, ya memang itulah kenyataannya. Pak tua pemilik sanggar itu ternyata bernama pak Karto. Pak Karto pun mengajakku bertemu dengan keluarganya. Dan disuruhnya ku untuk ganti pakean, karena dari kampung aku ga bawa apa-apa. “Begini ya rasanya hidup di kota, beda 180o dari kampungku. Banyak kendaraan , alat teknologi semua lengkap. Tapi ada yang saya sayangkan” ungkapku sembari duduk diteras rumah pak Karto. “Maksudmu apa nak. Apa yang sebenarnya kau sayangkan?” tanya bu Edah istri pak Karto . “Banyak polusi bu, sehingga udaranya ga bisa segar  seperti di kampung, ya itulah kelemahan dari kota yang banyak perusahaan besar” jawabku dengan menyantap makanan yang ada di meja. Aku pun menyantap makanan yang diberikan oleh bu Edah. Banyak sekali makanan disana mulai dari jajanan yang dibeli dari jalanan hingga makanan mahal , ada semua disini. Aku baru kali ini merasakan makanan senak dan senikmat ini. Buku tak pernah membeli makanan seperti ini, untuk beli makanan sederhana saja sulit apalagi makanan semewah ini. Beruntung sekali aku bertemu dengan pak Karto. Selain beliau memintaku unutk masuk ke sanggar lukisnya. Beliau juga baik. Masih ada juga  orang yang baik seperti pak Karto. Setelah ku menyantap makanan yang disediakan oleh bu Edah, ku lanjutkan untuk mengenal tentang seni lukis. Pak Karto menerangkan sedikit demi sedikit mengenai seni lukis.
“Nak sebenarnya melukis merupakan hal yang sangat asyik,apa kau tertarik?”tanya pak .Karto pada ku .
“entahlah pak, apa diri ini mampu untuk melakukannya.Sebab tak ada sedikit bayangan dari ragaku ini untuk bisa menjadi seorang pelukis.” Jawabku.
“Tidak semua orang yang belajar melukis harus jadi peukis, apa seorang murid yang belajar elektro harus menjadi perakit listrik?Tidak kan?Negitu pula dengan lukis. Apa salahnya kau mncoba. Bapak yakin jika kau bersunguh- sungguh pasti Tuhan akan menjadikan ini sebuah jalan” sahut pak Karto sambil sedikit membujuk.
“Sebenarnya, semenjak bapak menawariku untuk masuk sanggar ini , jujur aku tertarik. Namun aku ga punya potensi disini. Aku tak suka luks yang aku suka mengarang atau belajar ilmu alam seperti biologi ataupun fisika.” Kataku pada pak Karto.
“aak lihat kamu ada potensi, nak. Untuk apa bapak menawarimu jika bapak tak meihat potensi itu di dalam dirimu. Potensi mu sudah terlihat jelas nak. Kamu bilang kamu suka mengarang. Dan engarang butuh imajinasi, begitu pula dengan melukis. Bagi seorang pelukis imajinasi ialah kunci. Jika kunci itu cocok maka pintu terbuka. Jangan kuatir Narni , bapak akan melatihmu.” Sahut pak Karto sambil menenangkanku.
Kemudian pak Karto   mengajakku pergi ke sanggar disana aku dilatihnya untuk melukis. Dari mulai dasar, pak Karto menagajariku untuk melukis. Yang menjadi aku teringat oleh bapak dan ibu di kampung , pak Karto mengajariku untuk melukis pemandangan alam. Dilukisan itu ada sungai , kebau , padi hingga kincir yang ada di tepi sungai. Tuhan aku rindu ibu dan bapak, padahal baru 3 hari aku meninggalkan mereka. Aku rindu ia Tuhan, apa aku harus pulang? Namun, jikalau ku ditanya oleh warga kampung harus jawab apa aku nanti. Aku belum dapat ilmu apapun dari kota. Ahhhhhh.... tidak aku tidak boleh rapuh karena rindu akan bapak dan ibuku. Mungkin aku harus mendo’akan beliau agar aku bisa tenang disini. Mungkin bapk dan ibu juga rindu kepadaku. Tuhan lindungilah mereka, aku sungguh menyayanginya. Jangalah mereka selama aku tak bisa menjaganya. Berilah kesehatan jasmani dan rohani agar beliau dapat beribadah kepadamu. Dan berilah aku kekuatan supaya aku tetap bisa beribadah kepadamu dan tentunya masih bisa menerima ilmu darimu.
            Hari kedua ku di sanggar pak Karto ku lewati dengan semangat yang membara. Karena hari ini Ditto akan membantu ku untuk belajar melukis. Tak tahu mengapa aku semangat jika aku ingin bertemu dengan Ditto. Rasanya darahku seakan membeku ditambah nadi ku seakan tak berdenyut. Apa aku ini suka sama dia. Ahhh tida mungkinlah anak kampung sepertiku tak boleh jatuh cinta. Aku ga boleh jatuh cinta selama ilmuku masih seperti rumput yang baru saja tumbuh. Yang sebenarnya bisa membuat kita hidupialah ilmu, jadi aku harus mengejarnya tanpa menyerah. Aku pasti bisa. Aku disini bukan untuk menuntut cinta namun menuntut ilmu.
            Lama sekali Ditto tak muncul . Mungkin dia baru jalan dari rumahnya. Sembari menunggu Ditto aku mulai mencoret-coret tinta dikanvas. Ku coret sana sini. Menurutku ini tak ada iramanya. Ku goreskan tinta engan bantuan kuas. Coret sana coret sini. Aku melukis seorang wanita yang duduk di tepi sungai dengan ditemani oleh selembar kertas dan ku tambah beberapa burung disampingnya. Tak tahumengapa aku melukis seperti ini. Entahlah , tapi aku berimajinas pada saat itu. Aku rasa gambar ini melukiskan keinginan terbesarku. Wanita yang duduk ditepi itu adalah aku, dan aku gambarkan diriku duduk karena aku ingin membayangkan jikalau ku nanti menjadi seorang pengajar dan membangun Indonesia yang bersih dengan  ku menjadi pengajar pasti akan ada sedikit perubahan. Dan ku gambarkan selembar kertas ini merupakan simbol jika kita belajar harus tetap mempertahankan prinsip kita sendiri dan ilmu itu bisa di cari walau hanya dengan selembar kertas karena sebenarnya ilmu tak hanya  dalam bentuk tulisan. Dan disampingnya ku berikan burung karena burung merupakan simbol dari dalam diri manusia yang memilki keinginan untuk mempertahankan hidupnya . Jika dia memiliki keinginan itu maka ia akan melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan agar hidupnya berubah menjadi lebih baik . Ku pandangi hasil lukisanku. Jelek aku rasa entahlah ini yang mampu aku lakukan . Biar pak karto yang menilainya. Tak terasa hampir satu setengah jam aku habiskan untuk melukis semabri menunggu Ditto. Aku rasa Ditto tak datang, apalagi cuaca mendung dan hujan mulai turun.
            “Assalamualaikum Narni . Lama ya nunggu ya. Maaf aku tadi nganter mama ke pasar.Ya biasalah mama dua kali seminggu pergi ke pasar. Maaf ya” kata Ditto yang tiba-tiba datang menghampiriku.
            “OOO,, Ditto Walaikumsalam. Tak kira kau tak datang. Lihat langitnya menangis dan mendung disana sini. OOO ga papa , itu memang kewajiban seorang anaknya untuk mebantu orang tuanya. Untuk apa aku marah?” jawabku dengan nada ringan.
            “OOO syukurlah ternyata kamu ga marah. Ooo apa itu? Bagus sekali . Itu lukisanmu? Spektakuler!!! Bagus sekali Narni benar pak Karto kamu memang mempunyai potensi di bidang lukis. Apa maksud lukisan itu? Apa aku boleh mengetahui makna dibalik lukisan indahm itu?” kata Ditto yang ternyata Ditto mengagumi lukisanku.
            “ Iya, itu lukisan yang aku buat sembari menunggumu. Ahhh lukisan itu tidak ada apa-apanya dibanding lukisanmu. Itu tak ada nilai jualnya. Dari mana kamu bisa tahu , kalau itu menyimpan makna tersembunyi?” tanya ku pada Ditto yang ternyata Ditto penasaran dengan lukisanku.
            “ Aku telah lama berkecimpung didunia lukis. Pasti setia kita menggoreskan tinta pasti ada makna yang tersirat. Ya jika memang kamu tak ingin itu . Tak apalah. Kita bahas yang lan saja, padahal menurutku makna itu baik untuk dlakuakan dan diamalkan” kata Ditto kesal karena aku tak mau ungkapkan makna yang terkandung dalam lukisan yang bau sajaaku buat.
     “Ohhh maaft Ditt , okelah aku akan menjelaskan mana itu kepadamu. Aku rasa gambar ini melukiskan keinginan terbesarku. Wanita yang duduk ditepi itu adalah aku, dan aku gambarkan diriku duduk karena aku ingin membayangkan jikalau ku nanti menjadi seorang pengajar dan membangun Indonesia yang bersih dengan  ku menjadi pengajar pasti akan ada sedikit perubahan. Dan ku gambarkan selembar kertas ini merupakan simbol jika kita belajar harus tetap mempertahankan prinsip kita sendiri dan ilmu itu bisa di cari walau hanya dengan selembar kertas karena sebenarnya ilmu tak hanya  dalam bentuk tulisan. Dan disampingnya ku berikan burung karena burung merupakan simbol dari dalam diri manusia yang memilki keinginan untuk mempertahankan hidupnya . Jika dia memiliki keinginan itu maka ia akan melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan agar hidupnya berubah menjadi lebih baik .” itu jawabku pada Ditto.
            “Apa ada hal menarik dari lukisan jelek ku ini? Aku rasa ak ada, malah mungkin jika pak Karto melihatnya pasti ia akan menertawakanku.” Kataku sedikit kesal denagn Ditto.
            “ Kamu luar biasa , tak ada pelukis yang berimajinasi tinggi. Aku kagum denagn mu sebab , mungkin jika di presentasekan di bumi ini 1 % manusia yang menghargai ilmu. Aku salut denagn dirimu Narni. Aku hanya bisa berkata, manfaatkan usia mu yang masih muda dengan menghiasinya dengan ilmu yang membuat dirimu bermanfaat bagi orang lain.” Kata Ditto yang menasehatiku.
            Tuhan , rasanya aku tentram sekali saat itu. Apalagi Ditto memberikan ku nasehat seperti itu. Ini meruakan tantangan hidup menurutku. Aduh aku merasakan ada hal aneh didalam benakku. Tuhan mengapa kau pertemukanku dengan Ditto. Jujur aku takt. Takut jikalau aku suka sama dia. Sementara dia tak suka sama aku. Tidak. Aku tidak boleh punya pikiran sekotor itu. Aku harus tetap berpegang teguh akan prinsipku. Aku pergi ke kota untuk mencari ilmu bukan mencri cinta . Aku tak mau mengorbankan ilmuku untuk cinta. Tuhan berilah aku kekuatan agar aku tetap bisa mencari ilmu untuk masa depanku.Ini segelintir do’a yang aku panjatkan kepada Tuhan . dengan harapan Tuhan mengabulkanya dan aku akan meperoleh ilmu untuk mengubah masa depanku dan juga tanah pertiwiku. Di sela lamunanku, pak Karto membawa selembar kertas datang kearah ku dan ditto. Ternyata itu merupakan pengumuman mengenai lombalukis nasional. Apa sebenarnya maksud pak Karto kali ini. Aku rasa pak karto orang yang aneh. Beliau takbisa di tebak. Kadang begini dan juga kadang seperti ini. Biarlah yang penting aku bisa menyerap ilmu darinya.
            “ Nak formulir pendaftaran lomba lukis nasional. Bapak mendapatkan ini dari teman bapak. Bapak berharap kalian berdua bisa mengirimkan hasil lukisan kalian. Bapak yakin diantara kalian akan menjadi peenangnya.” Kata pak Karto sambil menyerahkan formulir ke tangan Ditto.
            “Iya, pak . Ditto pasti mampu mengikuti lomba tu. Pasti dia menjadi pemenangnya. Lukisannya saja sudah spektakuler, ga ada tandingannya dah pak. Pasti ditto bersedia, dia kan calon pelukis terkenal , pak” kataku kepada pak Karto denagn nada yang bersemangat. Walau sebenarnya dihatiku aku ingin mengikutinya. Tapi, jangan mimilah, melukis saja tak bisa , mau ikut lomba lukis. Apalagi tingkat nasional.
            “kalian berdua harus ikut!” sahut pak Karto yang mengkagetkanku sampai-sampai kertas yang ada ditanganku terbang.
            “ Betul itu, kalau au ikut kamu juga harus ikut. Imajinasimu akan menganarkanmu menjai pengajar yang baik” sahut Ditto.
            “A...aku,,uuu maksud pak Karto?”tanyaku sedikit kaku
            “Iya, kalian berdua. Ditto dan kamu , Narni bapak telah daftarkan ke pantia lomba lukis nasional. Narni, bapak memberikan kesempatan langka ini kepadamu, tolong manfaatkannya nak. Bapak yakin jika kau bersungguh-sungguh kemenangan tak akan jauh darimu. Narni, asal kamu tahu jika nanti kau dapat memenangkan lomba ini, kamu akan memperoleh uang nak. Dan dari uan itulah kamu bisa meneruskan pendidikanmu nantinya. Dan dari pendidikanmu itulah kamu bisa menjadi pengajar yang baik. Dari seorang pengajar yang baik lah indonesia bisa maju. Bukankah itu keinginan terbesarmu, Narni. Lakuka ini nak !” kata pak Karto dengan wajah meyakinan ku..
            “Baik pak, Narni akan lakukan ini untuk pak Karto” sahut ku kemudian.
            “Jangan kau lakukan ini demi bapak, nak. Lakukan demi Indonesia.” Jawab pak karto dengan bijak.
            Kemudian pak karto meninggalkanku dengan Ditto di ruangan itu. Didalam ruangan itu diperdengarkanlah oleh Ditto akan lagu anak muda zaman sekarang. Baru kali ini aku mendengarkannya. Memang di kampungku tak ada radio, televisi apalagi mp3. Aku saja baru tahu itu setelah Ditto memperkenalkannya kepadaku. Di waktu yang sama , Ditto mengajari aku bagaimana memegang kuas yang baik dan benar. Tak hanya itu ia juga mengajarkanku tentang seluk beluk melukis di atas kanvas. Ini memang pengalaman yang mengesankan dihidupku. Namun, kenapa lagi-lagi rasa yang dulu pernah datang kini datang lagi. Ak sepertinya suka sama Ditto. Ahhhh ga ga boleh , aku harus fokus untuk mengikuti lomba lukis itu.
            Sudah hampir dua belas hari aku tinggal di sanggar pak Karto. Saatnya aku pulang ke kampung halaman sebelum aku mengikuti lomba lukis itu yang sekiranya akan dilaksanakan sekitar satu bulan lagi. Aku juga harus mengambil hasil UN ku yang akan segera di umumkan. Ku samapaikan rasa terimakasih kepada pak Karto. Aku pun lantas berpamitan kepadanya. Tapi, rasanya ada yang menganjal. Aku tak lihat Ditto. Kemana dia ? Tak namapak batang hidungnya. Aku ingin sekali bertemu dengan nya sebelumak pulang ke kampung. Kan aku nanti tak ketemu dia satu bulan. Ya memang inilah yang harus terjadi. Aku serahkan kepada Tuhan . Ahhh pikiran apaan ini , aku tak boleh memfikirkan tentang cowok , aku tetap harus berpedoman pada prinsipku , aku harus menjadi pengajar yang baik untuk membangun Indonesia. Kemudian aku lanjutkan perjalanku ke kampung halamanku. Kali ini aku pulang ke kampung membawa sedikit bekal untuk bapak dan ibu. Bu Edah memberikan sedikit oleh-oleh untuk bapak dan Ibu. Aku dantar pak Karto ke terminal bus, dengan menggunakan motor tuanya. Kira-kira 22 jam ku tempuh untuk bisa samapi ke kampungku. Ibu dan bapak tak tahu jika aku akan pulang kali ini. Pasti meeka senang akan kehadiranku , apalagi aku sudah lama meninggalkan rumah. Aku rindu mereka.
                        Perjalanan yang lama membuat aku letih. Ku panggul tas dari rumah pak Karto ke halaman rumahku. Nampaknya bapak dan ibu pergi melaut. Sepi sekali rumah ku. Aku binggung , kenapa dirumahku sepi. Aku rindu bapak , ib , tapi kemana mereka sekarang. Padahal ketikaaku di bus , aku membayangkan jika aku tiba di rumah nanti akan ku peluk ibu dan bapak sekuat mungkin, untuk mengobati rasa rinduku. Tapi, itu semua hangus , bapak dan ibu pergi entah ke mana muaranya.
            “Narni.....Nar....Narni”sahut seseorang yang ternyata bapak dengan langkah tergesa-gesa.
            “Bapak... bapak Narni pulang, Narni kangen baak dan Ibu.”jawabku.
            “Kapan kamu datang nak, ayo istirahat , nampaknya tubuhmu letih” kata bapak sedikit merangkul tubuhku.
            “Kemarin , pak. Pak ibu mana?Apa ibu tak ada dirumah pak?” tanyaku ke pada bapak .                 “Ibu mu pergi , nak.”  Jawab bapak denagn sedikit terbata-bata.
            “Oo ibu melaut ?”
            “Tidak!Tid...tidak” sahut bapak sambil eneteskan air mata.
            “Ke rumah tetangga atau mungkin kesungai , pak?” tanay ku heran melihat bapak yang menangmis yang tanpa ku saddari sebelumnya.
            “ Ibumu ,,, Nak, sebelum ibumu berpean, agar bapak menjaga kamu.Ibumu telah pergi ke Rahmatullah” kata bapak yang menahan air matanya karena tak ingin melihat nani menangis.
            “Maksud bapak? Ibu meninggal?Tak mungkin pak. Ehmmehhh bapak bercanda” kataku yang tak percaya begitu saja.
            “Ibumu jatuh dari tebing saat akan mengambil daun, karena bapak tak punya uang bapak diamkan ibumu dirumah, dan karena luka yang di derita cukup parah, dua hari setelah ibu mu jatuh , ibu meninggal”kata bapak.
            “ I,,,i,,,b.buuu , apa yang membat ibu ergi begitu saja. Kenapa ibu tak menunggu ak bu. Narni sudah dapat ilmu bu, Narni akan mengikuti lomba lukis dan Narni akan memenangkannya untuk Ibu” jawabku dengan suara lirih sembari mengeluarkan air mata.
            “Nak, jangan tangisi , memang ini jalan yang harus ibumu tempuh. Tolong jaga amanah ibumu” ata bapak sambil menenangkan ku.
            “ Aku berjanji kepada ibu , aku akan menjadi pengajar yang baik untuk membawa Indonesia menjad lebih baik lagi” janjiku pada Ibu yang benar-benar aku ucapkan dengan hati tulus dan ikhlas.
                        Di dalam kalutnya hati karena kehilangan ibu, aku masih teringat kata-kata Ditto.Aku harus  manfaatkan usia ku yang masih muda dengan  menghiasinya dengan ilmu yang membuat diriku bermanfaat bagi orang lain . Mengapaerasa rapuh seperti ini, Disamping aku teringat oleh kenangan bersama ibu, aku juga teringat akan sosok Ditto. Ahhhh tidak , aku harus fokus , aku ini calon pendiri Indonesia yang lebh baik. Walau aku dirundung sepi , aku tetap berlatih untuk mengikti lomba lukis itu. Kini aku ada semangat lebih karena , amanah ibuku. Aku akan dan harus melaksanakan amanah itu. Saat pengambilan hasil UN un tiba. Jantungku dag dig dug derrrr , akan ku dapat berapakah nilai UN. Semoga baik diantara yang terbaik. Yang artinya aku harus menjadi orang terbaik dalam UN kali ini. Bapak yang mengambil hasilnya pun ikut deg degan . Keluar lah bapak dari ruang kelas. Dipeluknya diriku erat-erat. Bapak meneteskan air mata. Apa aku tak lulus/ Sehingga bapak meneteskan air mata.
            “Selamat , kamu menjadi terbaik dari yang erbaik”kata bapak yang senang melihat hasil yang aku peroleh.
            “Alhamdulillah, ini merupakan awal perjuanagan pak, aku akan berusaha untuk memperoleh hadiah dalam lomba lukis itu, kemudian akan kugunakan uangnya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang akan menjembatani ragaku menjadi pengajar untuk generasi penerus Indonesia” janjiku yang disaksikkan oleh bapak.
Hari untuk persiapan lomba lukis tinggal mengjitung hari. Aku memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Ku lukiskan benda-benda disekitar ku. Aku mencari banyak inspirasi disini.Ku datang ke sanggar pak Karto sehari sebelum lomba. Ku berharap akan bertemu ditto disini. Namun, nampaknya a belum datang. Biarlah dia pasti datang dengan sendirinya. Namun, setelah aku berlatih hampir dua jam lamanya , orang yang ku tunggu tak kunjung datang. Mungkin ia persiapan sendiri di rumahnya. Aku di latih  oleh pak Karto, diajarkan ku trik- trik untuk melukis denagn hati, agar hasilnya memuaskan. Ku goreskan tinta dari tepi kanvas satu ke kanvas yang lain.  Kuasakan nada lukisanku, di setiap goresan tinta ku selipkan do’a untuk ibu dan kemajuan Indonesia.
            Hari dimana perlombaan digelar. Aku lagi-lagi tak melihat Ditto. Jujur aku rindu kepadanya. Ternyata kata pak karto, Ditto datang bersama ayah dan mamanya. Jadi ia tak bisa bersamaku dan pak Karto. Lonceng tanda dimulainya lomba telah berbunyi. Nadanya mengletarkan jantungku itu pula yang menambah semangatku berkobar. Tema lukisan ny kali ini ialah cita dan cinta. Mulai ku lukis kan beberapa gamba di dalamnya. Kali ini aku melukiskan bendera Indonesia yyang terbang diiringi 2 ekor burung dan disamping kanan kirinya ku letakkan beberapa pemandangan kampungku yang masih ada di bayangku. Maksud dari lukiskanku kali ini engambarkan cita-cita ku yang ingi menjadikan Indonesia lebih dari ini dengan disimbolkan bendera Indonesia yang erbang tak henti tanpa ada hambatan. Dan ku letakkan dua buruk yang terbang ialah menggambakan keinginanku untuk memiliki pendaming yang bisa menerima ku apa adanya. Itulah arti yang tersirat dari lukisanku. Pengumuman lomba itu akan segera di umumkan. Juara ke tiga memperoleh hadiah sebesar 150 juta rupiah, jaura dua memperoleh 250 juta rupiah. Dan juara pertama ialah 500 juta rupiah. Fantastic! Aku harus merebut salah satu juara itu. Tapi, menurutku itu sulit, karena juri nya saja ddari Amsterdam . pasti seleranya tinggi. Ya berdo’a saja. Setelah menunggu lama pengumuman pun dilaksanakan. Tuhan inilah hidup , aku endapatkan jauara satu. Dan aku memperoleh uang 500 juta rupiah. Aku senang bukan karena uang nya, namun karena aku akan tetap bisa meneruskan pendidikanku dengan  kemenangan ini.Aku peluk pak Karto dan Bu Edah. Tak ku bayangkan anak kampung bisa memperoleh kemenangan seperti ini. Tiba-tiba salah seorang juri dari Amsterdam menemuiku. Karena ia ak bisa berbicara bahasa Indonsia didampingilah ia dengan salah sat panitia.  Tak kuduga juri itu ternyata  mengajak ku untuk pergi ke Amsterdam dan melanjutkan kuliah disana. Ini mimpi? Fikirku saat itu. Ingin ku lompat ke sana ke mari karena kebahagiaanku. Tanpa fikir lama , aku iyakan tawaran juri itu. Aku senang sekali.
                        Dalam suasana yang membahagiakan datang Ditto denagn membawa bunga ditangannya. Aku binggung mengapa ia menyodorka bunga itu kepadaku. Ahhh biarlah.
            “ Nar, au mau ngomong sesuatu. Aku mohon kamu jangan pergi ke Belanda, aku suka sama kamu” kata Ditto sambil memberikan bunganya ke tangan mungilku.
            “Aku juga mungkin suka, tapi, aku ga tahu apa aku benar –benar suka apa hanya sekedar kagum semata.” Jawabku.
            “ Aku tahu kamu ada erasaa denganku. Maka dari itu, jangan kau lanjutkan studymu ke Belanda.”kata Ditto seikit memaksa.
            “Tidak!!! Kamu ga bisa melarang ku , apa-apaan ini dulu kau pernah bilang denganku manfaatkan usia mu yang masih muda dengan menghiasinya dengan ilmu yang membuat dirimu bermanfaat bagi orang lain. Mengapa kamu termakan oleh lidamu sendiri. Ditti walaupun aku suka dan sayang kepadamu , tak akan ku lorbankan pendidikanku demi kamu. Tetap aku akan prgi ke Amsterdam dan akan ku bangun negeriku. Aku aan berlari Ditto walau telapk ini terluka. Aku rela , aku akan korbankan nyawa ini untuk negeriku, maaf Ditto. Jika Ka milikku pasti ada jalan untuk kesana. Selamat tinggal Ditto. Maaf aku lebih memilih ilmu dari pada cintaku.” Jawabku didepan Dito sambil menahan air mata, karena sebenarnya aku berat untuk mengungkapkannya.
                        Kemudian ku berlari menajuhi Ditto. Dari kejauhan nampak rauh Ditto yang kecewa akan sikapku ini. Tapi, biarlah aku akan tetap lakukan ini. Dari tempat lomba itu , kemudian aku pulang ke kampung untuk mengambil barang yang akan ku bawa ke Belanda. Aku berniat sekali mencari ilmu ke sana. Karena janjiku ke pada ibuku. Setelah selesai pergi ddari makam bu, aku dianatar bapak ekota. Ku cium kening dan pipi bapak disana. Tak lupa kku ucapkan banyak terimakash kepadda pak Karto. Karena beliaulah aku bisa seperti ini. Setelah ku sampaikan salam perpisahan, aku terbang menggunakan pesawat ke Belanda. Aku jujur akan berbuat apa disana nanti. Apa akan ku ingat ibu pertiwi? Semenara banyak orang bercerita akan enakknya bekerja dinegeri orang dengan bergelimang uang. Tapi, sebenarnya yang akumnta buakanlah itu.
                        Ku ambil jurusan seni lukis disana. Setelah aku mendapatkan gelar strata satu, aku berniat melanjutkan strata dua kembali di tempat yang sama yaitu di Belanda mengambil tekhnik pertanian dan pangan. Karena setelah lulus nanti aku berniat kembali ke Indonesia, dan menerapkan ilmu ku di tanh pertiwi ku. Aku mengambil jurusan teknik pertanian dan pangan , karena aku rasa sampai saat ini Indonesia masih krisis dalam bidang pangan dan pertanian. Padahal jika ditelusuk Indonesia kaya akan sumber pangan , karena Indonesia merupakan negara agraris . Semuanya ada, namun, kenapa Indonesia masih membeli barang dari negara lain. Padahal barang yang negara beli ialah bahan pokok. Kemanakah hasil sumber daya alam Indonesia. Sementara, di pelosok Indonesia masih banyak sekali orang yang kelaparan , karena mereka kekurangan akan makan. Banyak sekali keluarga Indonesia yang terkena busung lapar. Padahal dari bebagai negara Indonesia termasuk penghasil sumber makanan pokok di dunia. Dengan keadaan negara ku yang selalu mebayangi, aku bertekad untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk dapat memulihkan keadaan Indonesia, baik di bidang apapun.  Dan setelah ini, aku akan menjadi seorang pengajar  di sebuah fakultas di Indonesia . Walau disini aku ditawari menjadi dosen dengan bayaran 4 kali lipat di bandingkan menjadi pengajar di Indonesiaukannya aku sombong akan ilmuku yang kini aku dapatkan, aku berusaha giat membangun negeriku, tumpah darahku, karena dari Indonesia lah aku dibesarkan, dari sini lah jiwaku menggantung. Tapi, aku memilih pulang ke Indonesia dan aku akan mengajarkan ke adik-adikku tentang ilmu pangan dan pertanian . Agar mereka bisa membangun pertanian yang lebih baik lagi di tanah pertiwi ini. Aku akan mengajar samapi nafas  diparu-paru ku ini habis walau telapak kakiku berdarah aku akan tetap berlari demi Indonesia.
                        Setelah ku peroleh beberapa ilmu dari negara kincir angin selama kurang lebih sepuluh tahun, ak kembali ke Indonesia. Untuk kembali ke negeriku tidak mudah. Karena sebelumnya aku terikat kontrak dengan perusahaan sasta disana. Tapi, dengan sekuat tenaga dan cara aku tempuh agar aku bisa keluar dari pekerjaan itu untuk pulang ke Indonesia. Selama aku disana aku dipekerjakan di sebuah perusahaaan di bidang angan, jabatan yang aku miliki sudah cukup bagus. Gaji yang diperoleh pun cukup menggoda, jika dibandingkan menjadi seorang dosen di Indonesia. Tapi, karena rasa cinta ku pada tanh air, karena ku ingin membangun negeriku dan janjiku kepada ibu, ku lepaskan jabatanku untuk negaraku.Setelah aku terbang dari Amsterdam ke Indonesia, aku seperti tak terbayang wajag kampungku. Bagaimana sekarang keadaan ayah, aku rindudan aku ingin mengsapkedua pipinya dan aku ingin pula mencium keningnya. Ku tapaki bandara Soekarno Hatta dengan semangat karena bapak telah menunggu bersama pak Karto. Seama sepuluh tahun aku pergi, bapak sengaja aku titipkan ke pak Karto . Karena aku khawatir dengan keadaannya. Pak Karto pun tak keberataan. Di sanggar itu , bapak ikut belajar melukis.
                        Ku lihat dua pria yang sudah mulai tua di lobi bandara. Aku rasa itu baoak dan pak Karto. Benar itu mereka , walau sudah sepuluh tahun aku pergi wajah mereka tetap sama. Tidak ada perubahan yang berarti.Ku hampiri bapak dan pak Karto. Ku gampai tangan meereka berdua, ku cium sampai aku meneteskan air mata. Tuhan terima kasih. Dari kampung ku berjuang , dari perahu reot ku bertahan hingga sekarang aku bisa menggapai anggan. Tapi, Tuhan perkenangkanlah diriku sejenak untuk membangun negeriku, setelah pendidikan yang aku peroleh dari negeri kincir iru. Perkenankanlah agar ilmuku bermanfaat nanatinya.
            “ Bapak, aku rindu engkau”kataku dalam pelukan bapak.
            “Nak, bapak mana yang ak rindu anaknya setelah anaknya berjuang”jawab bapak sambil mengelus-elus rambutku.
                                    Dua hari ku tinggal di Inonesia, aku mendatangi kampung halamanku. Sekarang sudah sedikit berbeda. Listik sudah mulai ada. Kududuk di bawah pohon dan merenungkan kembali kisah lalu ku. Ku berjalan mengitari hutan untuk dapat menuntut ilmu. Jembatan yang sudah tua ditambah sungai dengan aliran yang tak bersahabat menambah deretan pengorbananku untuk meraih kesuksesan. Aku Narni, dari desa dipelosok Indonesia, tak banyak orang tahu daerahku, listrik masih jarang ditambah medan yang sangat mematikan. Dari daerahku , aku harus menempuh jarak sekitar 20 km untuk pergi sekolah . Bayangkan saja, jika naik paerahu berapa lama waktu yang harus aku tempuh. Tak hanya perahu tua yang aku tumpangi , aku harus terlebih dahulu berjalan 5 km ke tepian sungai. Menuruni bukit, menyebrangi jembatan hingga harus pula melintasi sungai yang banyak sekali binatang buas . Banyak memang anak di daerahku yang tak sekolah .Keinginan  pertamaku untuk daerahku ialah membangun pembangkit listrik dengan tenaga air. Ada sebuah lokasi didaerahku yang bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik. Aku pelajari buku yang diberikan guruku, aku pelajari bagaimana cara membangkitkan listrik menggunakan tenaga air. Hingga suatu ketika, dimana aku sudah mengerti cara membangkitkan lstrik menggunakan bantuan air, aku mulai melakukan kegiatanku itu. Ku kumpulkan alat yang diperlukan, dan aku mengumpulkan saudaraku untuk mulai membangun pembangkit listrik itu. Seharian aku tak berhenti untuk berusaha agar alat yang aku ciptakan bisa berbuah manis. Tapi, setelah aku coba , alat itu tak berjalan dengan baik. Banyak orang yang mencemoohku akan hal ini. Aku sedikit gusar. Tuhan mengapa kau tak ijinkan aku untuk membangun listrik didaerahku, padahal aku sangat membutuhkannya. Karena kecintaanku kepada daerah asalku, walau banyak orang yang mencerca, aku tetap berusaha sendiri membangun pembangkit listrik itu. Ku bekerja sendiri setiap hari , ku bangun pukul 2 pagi , kucoba alatku setiap saat.  Entah apa sesungguhnya rencana Tuhan , sudah berulang kali aku berusaha namun tetap gagal. Hingga aku sempat ingin putus asa. Aku telah menghabiskan sekitar 3 bulan waaktu ku untuk membangun pembangkit listrik namun belum nampak hasilnya. Aku sebenarnya ingin berhenti, tapi, jika aku berhenti , bagaimana nasib desaku seterusnya. Apa akan tetap gelap gulita??? jika seperti ini tak akan maju negaraku, gimana bisa maju. Daerahnya saja, masih sangat tertinggal , untuk menggunaan listrik saja belum bisa. Dan karena ini merupakan salah satu keinginan terbesarku selama ini, dengan rasa yang optimis aku tetap berusaha , membangun pembangkit listrik itu.  Aku butuh waktu hampir 4 bulan untuk menyelesaikan alat pembangkit listrik itu. Aku berusaha sendiri, aku bangun sedikit demi sedikit. Ku kumpulkan tenagaku untuk daerahku. Banyak sekali orang yang mencemoohku karena ulahku yang aneh dimata mereka. Aku juga sempat di larang oleh bapak ibuku. Aku tak boleh keluar , jika aku tetap menjalankan aksiku itu, aku tidak dierbolehkan pergi ke sekolah. Aduhhh harus bagaimanakah aku ini. Tuhan tolong aku , buka kan lah pintu hati bapak dan ibuku agar aku bisa menyelesaikan impianku ini. Tetap saja, ibuku dan bapakku melarang, harus  bagaimana aku ini. Sedikit membangkang , aku tetap berusaha menjalankan aksiku itu dengan diam-diam. Aku keluar tengah malam disaat ibu dan bapak pergi ke laut. Aku sempatkan waktu beberapa menit setelah pulang sekolah untuk pergi ke tepi sungai yang alirannya cukup deras. Ahhh lamunan itu, aku ingat sekali , itulah pengorbanan sorang anak bumi.
Setelah cukup puas, akhirnya aku kembali Jakarta. Aku sudah siap menjadi dosen disana. Aku rasa keinginan ku akan terwujud. Akan kuajarkan anak didik ku tentang ilmu –ilmu pertanian agar mereka bisa mengubah Indonesia ke arahyang lebih baik. Agar mereka kembangkan tanah ini, agar saudara-saudaraku tak ada lagi yang kelaparan. Agar Indonesia lari dari keterpurukan , entah apa ini akan terjadi atau pun tidak, namun aku akan tetap gigih untuk mempertaruhkan pendidikan. Aku akan mendirikan sekolah yang layak bagi saudara-saudaraku di pelosok sana. Agar mereka juga merasakan indahnya mengenyam bangku pendidikan. Aku memang berpegang teguh terhadap ilmu dan pendidikanku. Aku ingn pendidikan yang telah aku raih , dapat aku manfaatkan walau dulu aku sangat susah payah untuk mendapatkannya karena itu merupakan roses. Walau banyak hujatan dari berbagai ihak , itu pun akan ku terobos. Akan ku korbankan cinta dan perasaanku demi ilmu. Karena menurutku ilmu lah pembentuk manusia. Tanpa imu apa kita bisa bertahan , menurutku mustahil. Karena dari ilmu – ilmu lah penemuan akan pangan berkembang, pengetahuan pun diciptakan oleh ilmu menurutku. Jadi, aku pun harus berilmu, karena orang yang berilmu itulah dirinya bisa terbentuk. Disamping ilmu , pasti ada penyebar ilmu itu. Ia adalah guru. Guru bagiku bapak atau ibuku. Apalagi setelah ibuku tiada, ku anggap guruku ibuku. Aku ingat salah satu puisi yang dikutip dari salah satu situs .

Puisi Bumi, Bukan Bumi

Hamparan tanah itu terlihat
Rindangnya pepohonan, pun hidup subur nian sejuknya
Ada pendopo, Mushola dan berbagai bangunan bernaung
Di bawah kesejukannya…

Kesejukan itu, nian indah oleh hadirnya Pemandangan
Dikala langkah kaki, mulai menapak
Bumi, bukan bumi itu… kian memukau
Ada rumah kayu sederhana , nan terbuka pintunya

Singgah disana sang suri tauladan..
Terpukau ku bisa bersua dan menuai wawasan
Beliau bergelar Guru spiritual bangsa
Gurunya para guru, para tokoh yang menyebutnya..

Beliau sederhana dalam busana
Berwibawa aura pribadinya, bijaksana sikapnya
Dan aku pun kian mengaguminya
Kagum akan petuahnya,

Dikala terdengar senandung hikmahnya
Setiap mata pun tertunduk pandang
Kepala spontan mengangguk,
Banyak bibir bungkam seribu bahasa,

Apabila langkah beliau menghampiri,
Indra mata tak mampu lagi menembus pandang
Melirik kesana-kemari
Akan terkulai sungkem,mengecup tangan mulianya.

sungguh engkaulah guru sejati..
Detik-detik hidupnya untuk dedikasi
Mendidik santri, dengan jujur nan bakti
Tiada keluh kesah, tiada pula gundah

Hatiku kian terpaut, pikiran yang gamang pun terbang melayang
Dikala..berkumpul bersamanya ,
Jua Segerombolan orang, Busananya serba putih….
Baju koko, kopyah, sarung jua sorbannya…
Sekilas memancarkan kemilau cahya

Bercahaya…bagai serpihan yang tertabur dari langit,
menjelma jadi jutaan garis cahya dalam lorong gelap,
lalu meresap bagai air dalam tiap pori-pori jiwa
Seantero mata negri secakrawala, bertandang ingin memandang

Bersemayam di hati.. Akan tumbuh tenteram dan ter-ayomi
Kala kaki masih berpijak, jua melangkah
Pada Bumi, bukan bumi. ini…….!!!
Dengan sekuat tenaga aku akan mempertaruhkan pendidikan Indonesia, aku akan tetap berlari untuk kemajuan negaraku.